Sesuatu yang harus dibunuh?!Apakah sesuatu itu? Sesuatu itu adalah perasaan emosi/kemarahan!
Kita tentu tau bahwa kemarahan adalah sesuatu racun psikologi yang sangat berbahaya bagi kita.Kemarahan bisa membuat kita terbius dan menjadi tidak sadar akan apa yang sedang dan akan kita lakukan.Berbagai kekerasan bisa saja terjadi ketika kemarahan meledak dan tidak bisa dikendalikan.Terus terang saja,kemarahan adalah sesuatu kotoran batin yang 'HARUS' bisa kita taklukkan jika kita ingin mendapatkan kebahagiaan!
Banyak orang yang hidup didunia ini,tetapi hanya sebagian kecil orang yang menyadari efek negatif kemarahan.Kemarahan sangat cepat meracuni perasaan kita dan sangat cepat memberikan instruksi 'Mengerikan' kepada tubuh untuk melakukan sesuatu untuk memuaskannya.Efek yang bisa ditimbulkan oleh kemarahan adalah penyakit,penyakit jiwa,bahkan kematian!
Jika kita telah menyadari efek negatif dari kemarahan,sesungguhnya kita telah satu langkah menuju kebahagiaan tanpa kekerasan dan emosi.Saya sendiri adalah tipe orang yang tidak suka marah karena alasan apapun.Ketika orang berbuat salah kepada saya atau menghina saya,maka saya akan berperang dengan kemarahan saya.Saya seringkali menang melawan kemarahan saya karena saya juga telah melatih meditasi.
Jadi,tips pertama melawan kemarahan adalah menyadari kemarahan itu sendiri.
Menyadari kemarahan itu muncul dan lenyap adalah cara yang paling efektif yang diajarkan Sang Buddha untuk mengalahkan kemarahan yang timbul.
Ada suatu cerita yang menginspirasi saya untuk menulis artikel ini.Cerita ini saya baca dari blog milik Om Tanhadi yaitu tanhadi.blogspot.com.Inilah kisah tersebut:
Adalah seorang brahmani bernama Dhananjani, seorang Ariya savika Sotapanna yang mempunyai keyakinan penuh pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Sementara, brahmana Bharadvaja Gotara, suaminya, adalah seorang micchaditthi yang selalu menutup telinga bila mendengar istrinya mengucapkan penghormatan terhadap Sang Buddha.
Suatu hari, brahmana Bharadvaja Gotara berkata pada istrinya bahwa ia akan mengundang lima ratus orang brahmana lainnya untuk makan di rumah mereka pada esok harinya. Dan minta pada istrinya agar tidak mengucapkan penghormatan pada Sang Buddha seperti biasanya, di depan brahmana lainnya pada perhelatan esok.
Tapi, istrinya tak menjanjikan apa-apa. Ia hanya berkata : "Brahmana suamiku, walau kepala saya harus terpisah dari badan karena pedang brahmana lainnya, saya tak akan mungkin bisa menahan diri untuk tidak menghormat Guru saya. Tak sesuatu pun bisa menahan saya agar tidak menghormat Buddha, Dhamma dan Sangha."
Keesokan harinya, brahmani Dhananjani berdandan dengan rapi, mengenakan perhiasan yang indah-indah. Bersama para pembantu, ia menyiapkan dan mengatur makanan bagi para brahmana di dapur. Kemudian ia membawa satu nampan berisi makanan untuk brahmana Bharadvaja Gotara. Saat itulah kakinya terantuk kaki meja yang membuatnya hendak terjatuh. Dan ia pun berseru :
"Namo Tassa Bhagavato Arahato SammĂ sambuddhassa," sebanyak tiga kali.
Mendengar itu, para brahmana merasa kepalanya dihantam dengan palu godam yang besar. Telinganya bagaikan ditusuk dengan tombak yang tajam. Dadanya bagaikan diguncang oleh kepundan gunung berapi, panas. Dengan marah, mereka mendongakkan kepala dan kedua mata yang terbelalak lebar. Mereka berteriak-teriak : "Kita telah diundang oleh orang-orang murtad. Kita telah masuk ke rumah orang-orang murtad."
Sambil mencaci maki tuan rumah dan membuang piring-piring berisi makanan yang dipegangnya, mereka berlarian tunggang langgang meninggalkan rumah brahmana Bharadvaja Gotara yang terbengong-bengong dibuatnya.
Brahmana Bharadvaja Gotara berdiri bertolak pinggang, dengan mata melotot memandang istrinya dari kepala sampai ujung kaki. Sebenarnya kemarahannya telah memuncak sampai ke ubun-ubun. Ingin ia melumat dan menghancurkan istrinya itu. Namun tak tahu mengapa, ia tak mampu untuk melakukannya. Rasanya ada sesuatu yang membuat nyalinya menjadi kecil.
Ia hanya bisa mencaci maki istrinya dengan kata-kata kasar : "Hai perempuan hina, kau merupakan sesuatu yang berbahaya bagi diriku. Aku minta dengan baik-baik padamu agar tidak memuji dan memuja pertapa gundul itu untuk sehari saja, tapi kau tak mengindahkannya. Dimanapun kau berada, kau tetap saja memuji dan memuja pertapa gundul itu."
Dengan napas tersengal-sengal menahan marah, ia meneruskan : "Kini aku mau tahu. Apa kelebihan gurumu itu. Aku akan pergi berdebat dengannya barang sejenak. Mampukah ia mengalahkanku?!"
Namun, brahmani Dhananjani berkata dengan tenangnya : "Saya tidak melihat seorang pun akan mampu mengalahkan seorang Sammasambuddha. Pergilah kau, suamiku. Nanti kau akan tahu sendiri."
Dengan bergegas, brahmana pergi menemui Sang Buddha. Dalam perjalanannya, ia memikirkan pertanyaan apa yang sebaiknya diajukan pada Sang Buddha agar bisa mengalahkannya. Akhirnya ia mendapat akal. Ia akan menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat si penjawab serba salah.
Ia akan bertanya : "Seseorang telah membunuh, apakah membuatnya bisa tidur tenang dan nyenyak ? Seseorang telah membunuh apakah, maka ia akan berbahagia tidak menemui penderitaan? Wahai Samana Gotama, jawablah pertanyaanku ini." Itulah pertanyaan yang akan ia ajukan.
Ia berpikir, bila Sang Buddha menjawab akan membunuh orang bernama ini atau itu, ia akan menuduh sebagai pembunuh dan apa gunanya menjadi pertapa. Bila Sang Buddha menjawab, tidak suka membunuh apapun; ia akan menuduh Sang Buddha tidak membunuh kilesa atau nafsu-nafsu duniawi. Bila demikian, untuk apa mengembara mengajarkan ajaran. Ia berpikir, pertanyaan itu bagaikan makanan yang masuk kerongkongan tapi ditelan tidak masuk, dimuntahkan pun tidak keluar.
Setelah bertemu Sang Buddha, iapun segera mengajukan pertanyaan yang telah ia siapkan itu.
Sang Tathagata menjawab : "Seseorang yang mampu membunuh kemarahan, akan tidur tenang dan nyenyak. Seseorang yang berhasil membunuh kemarahan, akan menemui kebahagiaan, terhindar dari penderitaan. Wahai brahmana, para Ariya memuji pembunuhan terhadap kemarahan yang mempunyai akar sebagai racun yang berbisa dan puncak sebagai madu yang manis. Oleh karena itu, seseorang yang berhasil membunuh kemarahan akan terhindar dari penderitaan dan menemui kebahagiaan."
Mendengar jawaban itu, brahmana Bharadvaja menjadi tercengang, karena tidak seperti yang diharapkannya. Jawaban itu amat jelas dan mengena, tak terbantahkan, membuat kemarahannya lenyap seketika. Ia sadar bahwa perkataan istrinya adalah benar.
"Bhante, jawaban Sang Buddha amat jelas dan terang, bagaikan seseorang yang menengadahkan sesuatu yang tengkurap, membuka sesuatu yang tertutup, menunjukkan jalan pada seseorang yang tersesat. Atau bagaikan seseorang menyalakan cahaya di tempat yang gelap agar seseorang yang mempunyai mata yang baik akan bisa melihat. Dengan ini saya menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha."
Kemudia ia melanjutkan :
"Saya mohon Bhante mentahbiskan saya menjadi bhikkhu dalam Dhamma dan Vinaya."
Tidak lama sesudah ditahbiskan, bhikkhu Bharadvaja berhasil mencapai kesucian Arahat. (Dhananjani Sutta dan Atthakatha 15/626-620)
Sementara Akkosaka Bharadvaja, begitu tahu kakaknya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan tahbis sebagai pabbajita dalam Dhamma Vinaya Sang Buddha, menjadi marah dan jengkel. Segera pergi menemui Sang Buddha, mengata-ngatai Sang Buddha dengan kata-kata kasar seperti orang yang tak mengenal sopan santun.
Setelah selesai ucapan kasar Akkosaka Bharadvaja, Sang Buddha berkata dengan tenang :
"Wahai brahmana, pernahkah saudara-saudara, keluarga atau teman dan sahabat anda bertamu ke rumah anda?"
"Wahai brahmana, pernahkah saudara-saudara, keluarga atau teman dan sahabat anda bertamu ke rumah anda?"
"Ya, mereka kadang-kadang datang," jawab brahmana yang belum tahu arah pembicaraan Sang Buddha.
"Lalu, apakah anda menghidangkan sekedar makanan dan minuman untuk menjamu tamu tersebut?"
"Ya, memang demikian."
"Apabila saudara-saudara, keluarga atau teman dan sahabat anda itu tak menerima makanan dan minuman yang anda hidangkan, akan menjadi milik siapakah hidangan itu?"
"Tentu saja akan tetap menjadi milik saya," jawab brahmana.
"Demikian pula persoalan kita ini, brahmana. Anda mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor pada Tathagata yang tidak mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor. Anda marah pada Tathagata yang tidak marah. Tathagata tidak menerima dan memakan hidangan anda itu. Kemarahan dan kata-kata kasar itu tentu milik anda seorang. Barang siapa membalas cacian dan kemarahan yang ia terima, Tathagata menyebutnya sebagai orang yang sama-sama menikmati hidangan. Pasti akan terus saling balas membalas. Namun, Tathagata tidak sama-sama menikmati hidangan. Tidak membalas kemarahan dan cacian anda. Jadi, cacian dan kata-kata kasar itu milik anda sendiri, untuk anda sendiri."
Kemudian Sang Buddha meneruskan : "Seseorang yang telah mengalahkan kemarahan dalam dirinya mempunyai kehidupan yang tenang, teguh dan hening, karena tahu akan kesunyataan. Kemarahan tak akan muncul kembali. Barang siapa membalas kemarahan dengan kemarahan, ia disebut sebagai orang yang lebih buruk daripada orang yang marah padanya. Seseorang yang tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, dialah orang yang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan. Ia memberi manfaat pada dirinya sendiri dan juga orang lain. Tapi, orang bodoh mengatakannya sebagai orang bodoh."
Setelah mendengar penjelasan Dhamma ini, Akkosaka Bharadvaja tersadar dan timbul keyakinan terhadap Buddha Sasana. Ia menyatakan diri sebagai upasaka yang berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu dalam Dhamma Vinaya. Tak lama sesudah itu, iapun mencapai kesucian Arahat. (Akkosaka Sutta 15/631-634)
Setelah membaca cerita diatas,tentu sobat akan menyadari bahwa orang mengatakan kita bodoh ketika kita tidak marah kepada orang lain yang berbuat salah kepada kita adalah orang yang BODOH!Karena kebodohannya,maka dia mengatakan kita Bodoh!
Jika dia adalah orang yang Bijaksana,maka dia akan mengatakan kita adalah orang yang bijak!
0 comments:
Post a Comment