Tuesday, January 17, 2012

SILAVIMAMSA – JATAKA NO. 330

| Tuesday, January 17, 2012 | 1 comments

“Kekuatan yang ada di bumi,” dan seterusnya. – Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Maha Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang brahmana yang pernah membuktikan kebaikannya. Dua kisah yang hampir sama telah disebutkan sebelumnya1. Dalam hal ini Bodhisattva lahir dalam keluarga brahmana di Kerajaan Benares.

Dalam membuktikan kebaikannya sepanjang waktu tiga hari dia mengambil sebuah koin dari tempat harta karun. Sekelompok orang memberikan informasi bahwa dia adalah seorang pencuri, dan ketika akan dibawa kepada Sang Raja, dia berkata :

Kekuatan di bumi tiada bandingnya,
Kebaikan mempunyai sesuatu yang sangat menakjubkan :
Memperoleh berkah dari angkasa,
Ular-ular yang mematikan menghindari semua kejahatan.

Setelah selesai mengucapkan kebaikan yang tertuang dalam syair pertama, dia memperoleh pengampunan dari Sang Raja dan hidup menjadi seorang pertapa. Pada saat itu seekor elang menyahut sepotong daging dari tempat penjual daging dan menukik tajam ke udara. Burung-burung lain mengitarinya dan menabraknya dengan cakar, paruh dan kuku-kukunya. Karena tidak mampu untuk menahan rasa sakitnya ia melepaskan daging tersebut. Kemudian burung lain menangkapnya. Hal tersebut seperti mengkondisikan keaadaan penekanan agar daging yang dibawanya jatuh. Kemudian burung yang lain memperebutkannya, dan siapa saja yang akan mendapatkan daging akan dikejar oleh burung-burung lain bahkan sampai mati, dan barang siapa yang melepaskan daging tersebut akan terbebas. Bodhisatta memahami keadaan ini, “nafsu-nafsu yang ada pada diri kita seperti sepotong daging. Barang siapa yang melekat padanya akan menderita, dan barang siapa yang tidak melekat padanya akan memperoleh perdamamian.” 

Dan dia menguncarkan bait syair yang kedua :
Ketika elang hendak memakan daging,
Burung-burung mematuknya hingga terluka
Ketika ia terpaksa melepaskan dagingnya,
Kemudian mereka tidak menyerangnya kembali.

            [101] Sang Pertapa meninggalkan kota, dalam perjalanannya menuju sebuah desa, hingga pada sore hari dia tiba di rumah seorang kepala keluarga. Pada saat itu seorang pembantu rumah tangga wanita yang bernama Pinggala membuat kesepakatan dengan seorang pria dan keduanya menyambut kedatangan pertapa seraya berkata : “Anda datang dengan terburu-buru.” Setelah dia membasuh kaki dari Sang Maha Guru dan keluarganya, pada saat mereka tiba di sana, dia memasuki ambang pintu, melihat di luar untuk mengetahui kedatangan dari orang yang disayanginya, sesaat kemudian, ia bergumam sendiri, “ sekarang dia akan segera datang,” tetapi pada saat fajar tiba, dia kehilangan akan harapannya, ia berkata “ Ia tidak akan datang kali ini,” dan dia berbaring serta seketika itu ia merasa mengantuk. Bodhisatta melihat kejadian tersebut dan berkata, “ Wanita ini berada dalam pengharapan dan penantian dalam waktu yang begitu lama mengenai kedatangan kekasihnya, tetapi sekarang ia berkesimpulan bahwa yang ditunggu tidak akan datang, dalam keputus-asaannya dia tertidur dengan lelap.” Dan dengan berpikir bahwa walaupun dia berharap dengan sungguh-sungguh dunia hanya berisi kesedihan, akhir dari keputus-asaan akan membawa sebuah kedamaian, dan dia menguncarkan syair ketiga :
Buah dari harapan dipenuhi dengan kebahagiaan;
Bagaimana hal yang lain terjadi hingga tiada harapan?
Meskipun demikian keputus-asaan menumpulkan harapannya,
Lo ! Pingala dengan penuh kedamaian tertidur lelap2.
            Hari berikutnya ia pergi dari desanya dan memasuki hutan, dia duduk dengan tenang pada sebuah gundukan tanah dalam keadaan pikiran yang penuh konsentrasi (meditasi), “ Keduanya baik di dunia ini dan di dunia selanjutnya tidak ada kedamaian dan kebahagiaan di luar dari meditasi yang benar.” Kemudian dia menguncarkan syair yang keempat :
Dalam dunia ini dan dunia selanjutnya
Tidak ada yang dapat melebihi kedamaian dan kegembiraan:
Ketenangan yang suci dan mengagumkan,
Dengan tidak menyiksa diri, maka tidak akan terganggu oleh apapun.
            [102] kemudian dia pergi ke hutan dan membuat tekat untuk menjadi seorang pertapa Rishi dan meningkatkan pengetahuannya yang dalam mengenai meditasi untuk kemudian bisa terlahir dalam alam Brahma.
            Sang Maha Guru mengakhiri khotbahnya, mengerti akan kehidupan yang lampau dan mengatakan : “ pada waktu itu saya adalah keluarga pertapa tersebut.”
 N0 86, Vol, i., and No. 290, Vol. ii
Bandingkan dengan Sankhya Aphorisms, iv. 11. Mahabharata, xii 6447.NO.330
SILAVIMAMSA – JATAKA
“Kekuatan yang ada di bumi,” dan seterusnya. – Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Maha Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang brahmana yang pernah membuktikan kebaikannya. Dua kisah yang hampir sama telah disebutkan sebelumnya1. Dalam hal ini Bodhisattva lahir dalam keluarga brahmana di Kerajaan Benares.
Dalam membuktikan kebaikannya sepanjang waktu tiga hari dia mengambil sebuah koin dari tempat harta karun. Sekelompok orang memberikan informasi bahwa dia adalah seorang pencuri, dan ketika akan dibawa kepada Sang Raja, dia berkata :
Kekuatan di bumi tiada bandingnya,
Kebaikan mempunyai sesuatu yang sangat menakjubkan :
Memperoleh berkah dari angkasa,
Ular-ular yang mematikan menghindari semua kejahatan.
            Setelah selesai mengucapkan kebaikan yang tertuang dalam syair pertama, dia memperoleh pengampunan dari Sang Raja dan hidup menjadi seorang pertapa. Pada saat itu seekor elang menyahut sepotong daging dari tempat penjual daging dan menukik tajam ke udara. Burung-burung lain mengitarinya dan menabraknya dengan cakar, paruh dan kuku-kukunya. Karena tidak mampu untuk menahan rasa sakitnya ia melepaskan daging tersebut. Kemudian burung lain menangkapnya. Hal tersebut seperti mengkondisikan keaadaan penekanan agar daging yang dibawanya jatuh. Kemudian burung yang lain memperebutkannya, dan siapa saja yang akan mendapatkan daging akan dikejar oleh burung-burung lain bahkan sampai mati, dan barang siapa yang melepaskan daging tersebut akan terbebas. Bodhisatta memahami keadaan ini, “nafsu-nafsu yang ada pada diri kita seperti sepotong daging. Barang siapa yang melekat padanya akan menderita, dan barang siapa yang tidak melekat padanya akan memperoleh perdamamian.” Dan dia menguncarkan bait syair yang kedua :
Ketika elang hendak memakan daging,
Burung-burung mematuknya hingga terluka
Ketika ia terpaksa melepaskan dagingnya,
Kemudian mereka tidak menyerangnya kembali.
            [101] Sang Pertapa meninggalkan kota, dalam perjalanannya menuju sebuah desa, hingga pada sore hari dia tiba di rumah seorang kepala keluarga. Pada saat itu seorang pembantu rumah tangga wanita yang bernama Pinggala membuat kesepakatan dengan seorang pria dan keduanya menyambut kedatangan pertapa seraya berkata : “Anda datang dengan terburu-buru.” Setelah dia membasuh kaki dari Sang Maha Guru dan keluarganya, pada saat mereka tiba di sana, dia memasuki ambang pintu, melihat di luar untuk mengetahui kedatangan dari orang yang disayanginya, sesaat kemudian, ia bergumam sendiri, “ sekarang dia akan segera datang,” tetapi pada saat fajar tiba, dia kehilangan akan harapannya, ia berkata “ Ia tidak akan datang kali ini,” dan dia berbaring serta seketika itu ia merasa mengantuk. Bodhisatta melihat kejadian tersebut dan berkata, “ Wanita ini berada dalam pengharapan dan penantian dalam waktu yang begitu lama mengenai kedatangan kekasihnya, tetapi sekarang ia berkesimpulan bahwa yang ditunggu tidak akan datang, dalam keputus-asaannya dia tertidur dengan lelap.” Dan dengan berpikir bahwa walaupun dia berharap dengan sungguh-sungguh dunia hanya berisi kesedihan, akhir dari keputus-asaan akan membawa sebuah kedamaian, dan dia menguncarkan syair ketiga :
Buah dari harapan dipenuhi dengan kebahagiaan;
Bagaimana hal yang lain terjadi hingga tiada harapan?
Meskipun demikian keputus-asaan menumpulkan harapannya,
Lo ! Pingala dengan penuh kedamaian tertidur lelap2.
            Hari berikutnya ia pergi dari desanya dan memasuki hutan, dia duduk dengan tenang pada sebuah gundukan tanah dalam keadaan pikiran yang penuh konsentrasi (meditasi), “ Keduanya baik di dunia ini dan di dunia selanjutnya tidak ada kedamaian dan kebahagiaan di luar dari meditasi yang benar.” Kemudian dia menguncarkan syair yang keempat :
Dalam dunia ini dan dunia selanjutnya
Tidak ada yang dapat melebihi kedamaian dan kegembiraan:
Ketenangan yang suci dan mengagumkan,
Dengan tidak menyiksa diri, maka tidak akan terganggu oleh apapun.
            [102] kemudian dia pergi ke hutan dan membuat tekat untuk menjadi seorang pertapa Rishi dan meningkatkan pengetahuannya yang dalam mengenai meditasi untuk kemudian bisa terlahir dalam alam Brahma.


            Sang Maha Guru mengakhiri khotbahnya, mengerti akan kehidupan yang lampau dan mengatakan : “ pada waktu itu saya adalah keluarga pertapa tersebut.”
N0 86, Vol, i., and No. 290, Vol. iiBandingkan dengan Sankhya Aphorisms, iv. 11. Mahabharata, xii 6447.

1 comments:

Syari said...

terimakasih.
salam sehat selalu
cekaja

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 
© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com