Tuesday, January 31, 2012

Bapak Rajen : Dhamma Indah Pada awalnya, Indah Pada Tengahnya dan Indah Pada Akhirnya

| Tuesday, January 31, 2012 | 0 comments

Kebhaktian umum, 11 September 2009
Protokol : Grace Chandra
Penyalaan Lilin Altar : Romo Pannajayo
Pembacaan Dhammapada : Ibu Cuilan (Gatha 354 dan 355)
Dhammadesana : Romo Rajen
Penulis : Grace Chandra

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhasa … (3X)
Namo Sang Yang Adhi Buddhaya, Namo Buddhaya…!!!

Malam ini Romo Rajen memberikan ulasan mengenai Dhamma. Dhamma merupakan kebenaran sejati atau ajaran kebenaran. Menurut Anguttara Nikaya I halaman 22 dikatakan bahwa “Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada tengahnya dan indah pada akhirnya.
Dhamma dikatakan indah pada awalnya karena Dhamma dapat membimbing dan membentengi diri kita. Dhamma dapat memberikan tuntunan kepada kita agar diri kita keluar dari Dosa, Loba dan Moha. Dhamma berisi peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh Guru Buddha sejak 2500 tahun yang lalu. Hidup ini memang perlu peraturan dengan adanya peraturan hidup akan lebih teratur, tenang, tentram dan damai. Untuk umat awam terdiri atas 5 sila, sedangkan para Bhikkhu terdiri atas 227 sila. Dengan menjalankan Dhamma, kita akan merasakan hidup yang bahagia, damai dan penuh dengan keseimbangan.
Dhamma itu indah pada tengahnya karena Dhamma dapat menuntun kita pada ketenangan batin dan memperoleh pandangan terang. Ketenangan batin dan pandangan terang ini dapat kita peroleh dengan jalan mempraktekkan meditasi. Semua ini dapat kita peroleh dengan kekuatan diri kita sendiri dan semuanya ada didalam diri kita sendiri.
Romo Rajen lalu bertanya kepada semua umat yang hadir mengenai apa saja manfaat yang diperoleh dari latihan meditasi. Setelah dirangkum, ternyata meditasi memberikan manfaat antara lain bertambahnya kesabaran, bertambahnya konsentrasi, mengikis dosa, loba dan moha, dan menjadi tenang. Dari banyaknya jawaban yang ada Romo Rajen menambahkan manfaat meditasi yang telah ia rasakan dari berbagai latihan meditasi yang telah dijalaninya. Romo Rajen merasakan dengan meditasi ia dapat melihat seperti apakah dirinya saat ini. Beliau tersadar bahwa dirinya telah banyak melanggar sila. Akhirnya ia tersadar sehingga beliau berjanji dalam diri akan bertobat serta ingin menjadi pengabdi Dhamma. Meditasi yang teratur juga dapat mengontrol gula darah beliau sehingga berada dalam batas rendah.
Setelah mengupas tentang begitu banyaknya manfaat dari bermeditasi lalu Romo Rajen memberikan tips meditasi sebagai berikut:
- Pilihlah tempat duduk yang paling sesuai atau nyaman (teratai penuh, setengah teratai atau kedua kaki dalam posisi sejajar)
- Tegakkan badan , simpan telapak tangan dipangkuan dengan rilieks dan mata kemudian dipejamkan.

Ada dua jenis meditasi yang kita kenal yaitu :
1. Meditasi ketenangan batin, Samantha Bhavana Contohnya: Meditasi memperhatikan napas (Anapannasati Bhavana)
2. Meditasi pandangan terang, Vipasanna Bhavana

Oleh sebab itu Dhamma dikatakan indah pada tengahnya karena dapat memberikan ketenangan dan pandangan terang apabila kita mau mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dan yang terakhir Dhamma dikatakan indah pada akhirnya karena dengan Dhamma dapat menghasilkan manusia-manusia bijaksana. Kebijaksanaan dapat kita peroleh dengan sendirinya jika kita selalu mempraktekkan sila dan Samadhi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dengan melihat ulasan ini semoga saja kita semakin terpacu untuk menjalankan dhamma di dalam kehidupan kita masing-masing. Dhamma itu memang sungguh indah pada awal, tengah dan akhirnya.
Demikianlah ringkasan kebhaktian umum, 11 September 2009. Semoga bermanfaat.
Sadhu…! Sadhu…! Sadhu…!

Readmore..

Romo Rajiman : Persatuan dalam kelompok

| | 0 comments

Selamat Datang di Blog Vihara Surya Adhi Guna Rengasdengklok
Blog ini kami persembahkan untuk teman-teman kami yang rindu akan suasana Vihara, teman-teman yang berminat belajar Dhamma, dan berbagi pengalaman spiritual. Blog ini juga kami dedikasikan sebagai jembatan para umat Vihara Surya Adhi Guna yang tidak dapat datang ke Vihara, kami menyediakan liputan, ringkasan kebaktian, foto-foto dan video setiap aktivitas yang up to date.
Semoga bermanfaat.

Readmore..

Monday, January 30, 2012

Bpk Supriatno Penyuluh agama Buddha dari DEPAG KARAWANG

| Monday, January 30, 2012 | 0 comments

Vihara Surya Adhi Guna, Perahu Dhamma: Bpk Supriatno Penyuluh agama Buddha dari DEPAG KARAWANG#navbar-iframe { display:block }Selamat Hari Kathina, Ayo Berdana kepada Sangha..Vihara Surya Adhi Guna, Perahu DhammaHomeHistoriGaleriProfilDhammaEventsKomentarSelamat Datang di Blog Vihara Surya Adhi Guna Rengasdengklok
Blog ini kami persembahkan untuk teman-teman kami yang rindu akan suasana Vihara, teman-teman yang berminat belajar Dhamma, dan berbagi pengalaman spiritual. Blog ini juga kami dedikasikan sebagai jembatan para umat Vihara Surya Adhi Guna yang tidak dapat datang ke Vihara, kami menyediakan liputan, ringkasan kebaktian, foto-foto dan video setiap aktivitas yang up to date.
Semoga bermanfaat.

Minggu, 03 Januari 2010Bpk Supriatno Penyuluh agama Buddha dari DEPAG KARAWANG.fullpost{display:inline;}




Kebhaktian Umum, 13 November 2009
Dhammadesana : Bpk Supriatno
Penyuluh agama Buddha dari DEPAG KARAWANG

Tema : Kerukunan Umat Beragama
Penulis : Romo Pannajayo


Namo Buddhaya…!
Bapak Supriatno dalam Dhammadessananya menguraikan beberapa poin yaitu:
- Di Depag Karawang, Bapak Supriatno selaku penyuluh agama Buddha diterima baik oleh pegawai yang lainnya. Mereka semua bersikap ramah dan baik karena umat Buddha di Karawang tidak pernah mebuat masalah/merugikan orang lain.
- Kita selaku umat Buddha perlu menunjukkan indentitas diri sebagai agama Buddha di dalam KTP. Hal ini dikarenakan seberapa besar jumlah umat dapat dijadikan sebagai patokan pertimbangan bagi pemerintah untuk memberikan anggaran bantuan keagamaan.
- Kehidupan toleransi beragama di Karawng cukup bagus dan umat Buddha di mana-mana diterima oleh umat lain. Hal ini dikarenaka dari jaman para Buddha dulu, agama Buddha tidak pernah melakukan kekerasan pada penganut agama dan kepercayaan lain.
- Sang Buddha sendiri pernah menekankan kepada siswanya untuk selalu menghormati guru/ajaran yang lain atau ajaran yang lama.
- Orang yang dapat menciptakan kerukunan adalah orang yang dapat memberi manfaat bagi keluarga dan masyarakat (lingkungan).

Demikianlah ringkasan kebhaktian umum tanggal 13 November 2009, semoga bermanfaat.
Sadhu…! Sadhu…! Sadhu…!

0komentar: Poskan Komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBerandaLanggan:Poskan Komentar (Atom) Search ..Waisak Festival 2010Waisak Festival 2010Perayaan Waisaka Puja 2010Perayaan Waisaka puja Vihara Surya Adhi Guna akan diadakan pada hari Jumat tanggal 18 Juni 2010 pada pukul 18:00 Wib.
Acara akan dihadiri oleh Bhikkhu Sangha dari Sangha Agung Indonesia dan Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia Provinsi Jawa Barat. Adapun pada perayaan kali ini sekaligus diadakan acara pelantikan para pengurus baru Majelis Buddhayana Indonesia cabang Rengasdengklok.
Catatan Kebaktian? 2010(8)? Januari(8)Air ParitaYessica F.S. : Timang-timang MamaAwal Tahun 2010Bapak Hemarta : Pentingnya KonsentrasiJanganlah pernah merasa takut jika mengingat akan ...Tahun baru 2009Bpk Supriatno Penyuluh agama Buddha dari DEPAG KA...Samanera Abhasaro : Dari terang menuju terang ?  2009(85) ?  Desember(3)Latih diri - studi meditasi aksi 2009Romo Rajiman : Persatuan dalam kelompok4 hal untuk merubah pola hidup kita ?  November(2)Bhante Upasammo : Sunguh sulit untuk mendengarkan ...Grace Chandra : English Buddhism ?  Oktober(6)Sidhi : KalyanamittaRomo Pannajayo : Hiri & OttapaPerayaan Hari Kathina 2009Yessica F.S. : Di Balik Kepribadian KitaRomo Pannajayo : Cara menjadi Agung dan BaikY. M. Bhante Adhiratano : Bekal yang kita tabung a... ?  September(8)Bpk. Hemartha : Kasih orang tua sepanjang JamanTommy : Belajar bersikap positif dengan penilaian ...Bpk. Hemartha : Perjuangan dan ProsesRomo Pannajayo : Lemah LembutPembacaan paritta malam kembangBapak Rajen : Dhamma Indah Pada awalnya, Indah Pad...Pelantikan Pengurus PMV 2009-2010Y. M. Bhante Athadiro : Hiduplah saat ini ?  Agustus(10)Grace Chandra : Personality PlusBapak Abeng : PatidanaBapak Rajiman : Hidup tidaklah pasti, tapi kematia...Romo Tanti Guna : Belajar berpola pikir BuddhisRomo Pannajayo : Keistimewaan Ajaran BuddhaGrace Chandra : kushala dhammaBhikkhu Sudassano : 4 Hal yang harus dilakukan unt...Sidhi : Ketua Terpilih PMV SAG 2009-2010Romo Pannajayo : KebahagiaanPemilihan KETUA PMV putaran pertama ?  Juli(10)Ayya Santini Talkshow : Bertemu Penderitaan, berte...Perayaan Asadha 2009 : YM Bhikkhu Sri Pannavaro Ma...Romo Pannajayo : 10 Racun kehidupanVihara Sepi : 20 Menit?.. Terasa Lama..Nyanagupta Shi Xue Zhi : Aplikasikanlah Buddha Dha...Samanera Abhasaro : PerubahanFery Karsilo : Nilai Moral & Asusila telah merosot...Yogi Gunawaro Diskusi : Pancasila BuddhisIvana M.K. : Semangat Biji TerataiY. M. Bhante Citavaro:Tujuan Luhur Umat Buddha ?  Juni(9)Yessica F.S. : DanaBpk. Indra Metta : Kebahagian pada kehidupan sehar...Games : Bermain sambil belajar ?  Mei(14) ?  April(11) ?  Maret(8) ?  Februari(3) ?  Januari(1)untuk menjelajahi blog ini dengan maksimal gunakan:
firefox dan flash player
Semoga Semua Makhluk Berbahagia

Readmore..

Romo Pannajayo : Cara menjadi Agung dan Baik

| | 0 comments

Kebhaktian umum, 09 Oktober 2009
Protokol : Bpk. Hasan
Penyalaan lilin Altar : Romo Pannajayo
Dhammapada : Grace Chandra (Gatha 99)
Dhammadesana : Romo Pannajayo
(Tema : Cara agar kita menjadi agung dan baik)

Namo Buddhaya..,
Malam kebhaktian tanggal 9 Oktober lain dari biasanya, suasananya sepi dan hening. Pertama kali saya memasuki Dhammasala dapat terlihat bantalan duduk hanya memenuhi setengan dari ruangan Dhammasala. Umat yang hadir kurang lebih hanya sekitar 40 orang saja. Hal ini terjadi karena sebagian besar Umat SAG berangkat ke Blitar-Suramadu untuk mengikuti kegiatan "Kathina Tour". Walaupun sepi.., tetapi tetap terlihat semangat dari para umat untuk mengikuti kebhaktian.
Dhammadesana pada malam ini diisi oleh Romo Pannajayo. Romo mengupas tentang bagaimana caranya agar kita menjadi agung dan baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebagai makhluk sosial pastilah selalu berhubungan dengan makhluk lain. Lalu bagaimanakah caranya agar kita dapat saling mengisi dengan makhluk lain dengan penuh keharmonisan???
Hubungan saling mengisi dan saling menolong dapat terjadi hanya jika ada unsur cinta kasih. Kita dapat dikasihi dan dicintai oleh orang lain hanya jika kita baik. Orang lain pasti baik dan mencintai diri kita apabila diri kita ini baik dalam ucapan, perbuatan dan pikiran.
Sekarang mari kita simak dan pelajari bagaimanakah caranya agar kita menjadi agung dan baik sehingga semua orang mencintai kita. Penampilan baik dapat dikategorikan menjadi tiga hal yaitu penampilan baik dalam jasmani, penampilan baik dalam perbuatan dan penampilan baik dalam batin.
Seseorang yang penampilan baik dalam jasmani yaitu orang yang dapat menjaga jasmani contohnya dengan berpakaian rapih dan sopan. Orang yang berpenampilan baik dalam jasmani bukan berarti ia harus berpakaian perlente dan memakai aksesoris mewah. Perlente bukanlah tanda bahwa ia adalah orang baik. Banyak orang berpakaian perlente dan mewah ternyata adalah seorang penipu.
Setelah mejaga penampilan jasmani terlihat baik, alangkah baiknya orang juga menjaga penampilan perbuatannya. Seseorang yang selalu berbuat baik, ramah tamah dan suka menolong pastilah sangat disukai semua orang. Banyak di kehidupan nyata, seorang wanita biasa-biasa saja dapat memperoleh pria tampan dan kaya. Setelah ditelusuri ternyata wanita ini merupakan wanita yang berpenampilan baik dalam sgala perbuatannya.
Selain kedua penampilan yang telah disebutkan diatas, ada satu penampilan lagi yang sangat penting untuk kita jaga. Apakah itu???. Yach.., itu adalah penampilan batin. Penampilan batin sangat perlu kita jaga dan kita tingkatkan untuk mejadi lebih baik lagi. Hal ini dikarenakan apabila batin tenang maka akan membuat perbuatan, perkataan pun mejadi tenang pula. Sebagai umat awam kita dapat meningkatkan batin kita dengan jalan selalu mempraktekkan pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah uraian tentang beberapa cara agar kita berpenampilan baik. Smoga uraian ini dapat bermanfaar dan membuat diri kita menjadi lebih baik lagi.
Sadhu...! Sadhu...! Sadhu...!

Readmore..

Sunday, January 29, 2012

Pembacaan paritta malam kembang

| Sunday, January 29, 2012 | 0 comments

Kebhaktian Remaja, 12 September 2009
Protokol : Mellisa Rosia
Pembacaan Dhammapada : Irwin Viryajaya dan Sidhi Agustiana Taniman
Penyalaan Lilin Altar : Indrawan Setiono
Penulis : Grace Chandra

Namo Buddhaya..,

Malam ini kebhaktian remaja tidak diisi seperti biasanya karena malam ini kebhaktian tidak diisi Dhammadesana. Kami hanya melakukan pembacaan paritta seperti biasa, lalu bermeditasi dan dilanjutkan dengan berbagai pengumuman singkat.. Hal ini dilakukan karena pada pukul 8 malam akan diadakan pembacaan paritta persembahyangan malam kembang almarhumah Ibu Yo Cin Nio yang merupakan salah satu umat Vihara Surya Adhi Guna dan merupakan nenek tercinta dari saudari Yessica F. S.
Tepat pukul jam 7.45 malam, kami berangkat ke rumah duka besama-sama dengan berjalan kaki karena letak rumah duka tidak jauh dari vihara kami. Pembacaan paritta pun dilakukan tepat pukul 8 malam dengan dipimpin oleh Romo Pannajayo. Saat akan dimulai pembacan paritta, saya melihat sungguh banyak umat yang hadir untuk membacakan paritta untuk almarhumah. Almarhumah merupakan sosok yang baik dan tekun dalam menjalankan dhamma, tak heran sungguh banyak kerabat dan kenalan yang merasa kehilangan Beliau.
Pada saat prosesi persembahyang berlangsung, saya sempat merenung bahwa kehidupan ini sungguh tak pasti akan tetapi kematian sungguh pasti. Oleh karena itu kita harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi kematian yang menanti kita. Tak ada bekal yang lebih baik selain “KARMA BAIK” dalam menghadapi kematian. Dengan setumpuk karma baik yang kita miliki maka kita dapat menjalani kehidupan selanjutnya dengan lebih baik. Karma baik yang telah kita lakukan bukan saja dapat dilihat hasilnya pada kehidupan yang akan datang tetapi pada kehidupan saat ini juga.
Saya teringat pada masa hidupnya almarhumah Ibu Yo Cin Nio merupakan sosok yang mengamalkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari dengan begitu disiplinnya. Di saat sakit saja, Beliau tetap bersemangat datang ke Vihara untuk mendengarkan Dhamma. Oleh sebab itu disaat meninggal, beliau meninggal dengan tenang di hari yang sungguh baik yaitu pada tanggal 09 bulan 09 tahun 2009 jam 9 lewat. Kejadian ini tak dipungkiri terjadi disebabkan oleh karma baik yang beliau lakukan dalam masa hidupnya. Karma baik tak mungkin dapat hilang dan dicuri oleh siapa pun. Karma baik akan melindungi dan menyertai diri kita sendiri saat kematian menjemput.
Semoga dengan ulasan sekilas mengenai persembahyangan ini, kita dapat merenung tentang kematian. Renungilah bahwa hidup sungguh singkat dan kematian tak disangka sudah berada di depan kita. Semoga dengan perenungan ini membuat kita selalu tersadar dalam menjalani kehidupan ini. Semoga kita semakin terpacu untuk menjalankan Dhamma dalam kehidupan sehari. Semoga kita selalu memupuk dan memupuk karma baik sebanyak-banyaknya.
Saddhu…! Sadhu…! Sadhu…!

Readmore..

Saturday, January 21, 2012

Clairvoyance | Kemampuan Melihat Masa Depan

| Saturday, January 21, 2012 | 1 comments

Oleh : Ajahn Brahm

Tema pembicaraan kita pada malam ini adalah tentang kemampuan melihat masa depan (clairvoyance). Ada berapa orang di antara anda sekalian yang telah meramalkan bahwa saya akan berbicara tentang hal ini pada malam ini ? Dan yang anehnya, kadang-kadang kebanyakan dari kita telah sudah mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Atau mungkin kita pergi ke paranormal atau ke orang-orang yang menyebut diri mereka peramal. Mereka memberikan ramalan. Kadang-kadang mereka benar dan kadang-kadang mereka tidak benar. Dan apa yang terjadi, terutama dengan para bhikkhu yang ada di depan anda ini, karena kami telah bermeditasi untuk waktu yang lama dan orang-orang berpikir kami mempunyai kekuatan supranatural yang hebat.

Seperti yang saya alami ketika saya menghadiri suatu konferensi global pada bulan Juni lalu. Pihak panitianya menginginkan suatu pertunjukan untuk konferensi tersebut. Lalu mereka bertanya, apakah saya bisa "terbang" (levitate) di hadapan umum, karena hal itu akan menjadikan konferensi tersebut sukses besar. Dan saya menolaknya. Mengapa ? Karena para bhikkhu tidak akan pernah mempertunjukkan kekuatan supranatural mereka. Karena jika kami benar-benar melakukan hal-hal seperti meramal nasib di dalam praktek kami, maka tentu saja anda semua akan bertanya kepada saya tentang siapa yang akan memenangkan Piala Melbourne. Dan anda semua akan bertanya kepada saya, "Tolonglah, bisakah anda memberitahukan nomor lotere nya?" Itu namanya mencuri ! Karena jika seseorang membeli lotere atau bertaruh di pacuan kuda, bukankah itu tidak adil ketika anda mencuri kesempatan dengan mencari para bhikkhu atau peramal, dan mencari tahu siapa yang akan menang ? Oleh karena itu kami tidak melakukan hal-hal seperti itu. 

Dan juga jika kami mengetahui apa yang akan terjadi dan memberitahukannya kepada orang-orang, lalu bayangkan saja apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Mereka akan mengangkat saya menjadi anggota CIA. Dan saya takkan pernah bisa datang ke Buddhist Center ini lagi karena saya akan menjadi sangat sibuk. Kerjanya hanya meramal peristiwa apa yang akan terjadi, kapan bom akan meledak, atau siapa yang menjadi teroris atau siapa yang bukan teroris. Dan jika anda bisa "terbang" seperti apa yang sudah saya katakan sebelumnya, Pesta Olahraga Persemakmuran di Melbourne akan segera tiba, dan saya akan senantiasa berada di sana di setiap saat, mengikuti pertandingan lompat tinggi. Dan itu akan menjadi sangat tidak adil karena saya mencuri kesempatan dari orang lain. Jadi, kami tidak melakukan hal-hal tsb. 

Tetapi orang lain melakukannya. Kadang-kadang bahkan para bhikkhu sendiri. Kadang-kadang anda mengatakan sesuatu dan orang-orang mendengarkan dengan penuh perhatian. Terutama tradisi-tradisi di Asia. Mereka selalu berpikir bahwa bhikkhu-bhikkhu bisa meramal tentang hal-hal ini. Memberikan nomor lotere dan hal-hal semacam itu. Dan sayangnya, kadang-kadang mereka benar. Saya ingat ini ketika saya masih seorang bhikkhu muda, saya sedang menetap di gunung seorang diri di pedalaman Thailand. Dan orang-orang Thai di sana suka bermain lotere. Kami punya sebuah guyonan di Thailand, bahwa tidak seorang pun yang tahu kapan rahib Buddhis bekerja, kapan bulan purnama ataupun setengah bulan purnama tiba. Tetapi mereka semua tahu kapan ada permainan lotere.
Karena itu adalah hari yang paling penting dalam seminggu bagi mereka. Jadi, mereka akan mendatangi saya dua atau tiga hari sebelumnya. Dan mereka akan bertanya, "Begini, anda kan seorang bhikkhu pertapa. Anda pasti sudah menjalani meditasi yang mendalam, jadi anda bisa menolong kami. Bisakah anda memberi kami angka-angkanya?" Dan kadang-kadang mereka akan datang dan memperlihatkan semua bilur-bilur di tangan mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat miskin. Dan mereka akan berkata, "Oh, anda benar-benar tidak memiliki rasa iba, jika anda tidak memberitahukan kami angka-angkanya." Kadang-kadang saya berpikir untuk bilang, "Baiklah, selama kalian membagikan saya 10 persen !"

Readmore..

Wednesday, January 18, 2012

TINDUKA-JATAKA No. 177

| Wednesday, January 18, 2012 | 1 comments

“Di sekitar kita semuanya terlihat berdiri” dan sebagainya. ini adalah suatu cerita yang diberitahu oleh master pada jetavana tentang pengetahuan yang sempurna. seperti di mahabodhi kelahiran 1, dan ummagga kelahiran 2, mendengar pengetahuan nya sendiri yang dipuji; terpuji, ia berkata,” bukan ini sekali ketika hanya adalah buddha bijaksana, tetapi bijaksana ia adalah sebelum dan subur dalam semua sumber daya,” dan menceritakan kepada cerita kuno berikut .

pada suatu waktu; sekali peristiwa, kapan Brahmadatta adalah raja di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai Monyet dan dengan suatu pasukan delapanpuluh ribu monyet dan ia tinggal di himalaya. tidak jauh sekali adalah suatu desa/kampung, kadang-kadang di habited/tempat tinggalnya dan kadang-kadang kosong. Serta dalam tengah-tengah desa/kampung ini  adalah suatu tinduka pohon, dengan buah yang manis, menutup dengan cabang dan ranting. kapan tempat kosong, semua monyet digunakan untuk pergi kesitu dan makan buah itu.

sekali ketika, dalam waktu buah, desa/kampung adalah penuh dengan orang, suatu bambu memagari dengan pancang  memulai itu, dan gerbang menjaga. dan pohon ini [ 77] yang berdiri dengan semua dahan besar nya yang membengkokkan di bawah berat/beban menyangkut buah itu. monyet mulai untuk mengherankan: ” ada seperti buah dan desa/kampung seperti itu, di mana kita dulu mendapatkan buah untuk makan. saya ingin tahu  buah pohon itu di atas nya ada atau tidak, apakah ada orang di sana atau tidak ada” akhirnya mereka mengirim suatu pengintai/pandu menjadi mata-mata. ia menemukan bahwa ada buah pada atas pohon dan desa/kampung dipenuhi dengan orang. kapan monyet mendengar bahwa ada buah pada atas pohon, mereka menentukan untuk mendapatkan buah yang manis itu untuk makan dan bertambah besar berani/kuat, suatu kerumunan di antara mereka pergi dan menceritakan kepada kepala/raja mereka. Kepala/raja bertanya apakah desa/kampung yang penuh atau kosong, penuh mereka berkata.” kemudian kamu harus tidak pergi,” yang dikatakan ia’ sebab laki-laki itu adalah yang sangat curang.”" tetapi, bapak mereka akan pergi pada tengah malam manakala semua orang adalah puasa saat tidur dan kemudian makan! maka perusahaan  cuti, ini tentang yang besar kepala mereka dan turun dari pegunungan dan melayani suatu batu besar yang dekat sampai orang yang dipensiunkan untuk beristirahat dalam pertengahan mengamati manakala orang adalah sudah tidur, mereka memanjat pohon dan mulai menyantap buah

Readmore..

Tuesday, January 17, 2012

SILAVIMAMSA – JATAKA NO. 330

| Tuesday, January 17, 2012 | 1 comments

“Kekuatan yang ada di bumi,” dan seterusnya. – Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Maha Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang brahmana yang pernah membuktikan kebaikannya. Dua kisah yang hampir sama telah disebutkan sebelumnya1. Dalam hal ini Bodhisattva lahir dalam keluarga brahmana di Kerajaan Benares.

Dalam membuktikan kebaikannya sepanjang waktu tiga hari dia mengambil sebuah koin dari tempat harta karun. Sekelompok orang memberikan informasi bahwa dia adalah seorang pencuri, dan ketika akan dibawa kepada Sang Raja, dia berkata :

Kekuatan di bumi tiada bandingnya,
Kebaikan mempunyai sesuatu yang sangat menakjubkan :
Memperoleh berkah dari angkasa,
Ular-ular yang mematikan menghindari semua kejahatan.

Setelah selesai mengucapkan kebaikan yang tertuang dalam syair pertama, dia memperoleh pengampunan dari Sang Raja dan hidup menjadi seorang pertapa. Pada saat itu seekor elang menyahut sepotong daging dari tempat penjual daging dan menukik tajam ke udara. Burung-burung lain mengitarinya dan menabraknya dengan cakar, paruh dan kuku-kukunya. Karena tidak mampu untuk menahan rasa sakitnya ia melepaskan daging tersebut. Kemudian burung lain menangkapnya. Hal tersebut seperti mengkondisikan keaadaan penekanan agar daging yang dibawanya jatuh. Kemudian burung yang lain memperebutkannya, dan siapa saja yang akan mendapatkan daging akan dikejar oleh burung-burung lain bahkan sampai mati, dan barang siapa yang melepaskan daging tersebut akan terbebas. Bodhisatta memahami keadaan ini, “nafsu-nafsu yang ada pada diri kita seperti sepotong daging. Barang siapa yang melekat padanya akan menderita, dan barang siapa yang tidak melekat padanya akan memperoleh perdamamian.” 

Dan dia menguncarkan bait syair yang kedua :
Ketika elang hendak memakan daging,
Burung-burung mematuknya hingga terluka
Ketika ia terpaksa melepaskan dagingnya,
Kemudian mereka tidak menyerangnya kembali.

Readmore..

KALAYA-MUTTHI-JATAKA No. 176

| | 0 comments

“seekor monyet yang bodoh”. Kisah ini diceritakan Sang Bhagava di jetavana, mengenai raja di Kosala.
Pada suatu musim penghujan, kekecewaan terjadi di perbatasan. Pasukan yang ditempatkan disana, setelah dua atau tiga pertenpuran mereka gagal menaklukan musuh, mereka mengirimkan suatu pesan kepada raja menyangkut musim, menyangkut hujan ketika memulai petempuran, dan berkemah ditaman Jetavana. Kemudian raja mulai mempertimbangkanmusim ini tidak baik untuk suatu ekspedisi, tiap lubang dan cekungan penuh dengan air, jalan berat, aku akan pergi mengunjungi Sang Bhagava. Ia yakin akan bertanya “jauh kemana”, ketika saya bercerita kepadanya ia pasti akan menceritakan kepada dia. Itu adalah tidak hanya didalam hal-hal yang menyangut hidup masa depan yang master (kita/kami) melindungi aku, tapi ia melindungi hal yang mana kita sekarang melihat. Maka perjalananku adalah tidak berhasil bai, ia akan say’ adalah sustu waktu tidak baik untuk pergi, tuan “; tetapi jika aku adalah untuk berhasil baik, ia akan tidak katakan apapun. “maka kedalam taman yang ia datang memberi hormat Sang Bhagava, dan setelah sambuta master duduk pada satu sisi.

Readmore..

Monday, January 16, 2012

4 hal untuk merubah pola hidup kita

| Monday, January 16, 2012 | 1 comments

Protokol : Romo Pannajayo
Pembaca Dhammapada : Ibu Encun Sukanta (Gatha 176 dan 177)
Dhammadesana : Y. M. Bhante Suddhasano
penulis: Grace Chandra

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhasa (3x)
Namo Sang Yang Adhi Buddhaya, Namo Buddhaya…!

Saat ini orang sibuk membicarakan masalah kiamat 2012. Isu seperti ini sebenarnya mengingatkan kita untuk segera mungkin memupuk kebajikan. Kita harus semakin bersemangat memanfaatkan apa yang kita miliki untuk berbuat baik.

Hidup dengan selalu membina diri agar selalu menjadi manusia yang lebih mulia sangatlah sulit. Malam ini Y. M. Bhante memberikan dhammadesana tentang empat hal yang harus kita lakukan untuk merubah pola hidup kita. Keempat hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mencegah hal-hal buruk yang belum ada diri kita
Contohnya yaitu jika diri kita yang bukan tipe suka marah-marah jangan sampai berubah menjadi suka marah-marah. Kita harus menjauhkan diri hal-hal yang buruk. Hal ini dapat dicapai dengan meditasi dan fangshen. Meditasi membuat diri kita selalu sadar dan mawas diri sehingga jika ada hal-hal buruk yang mendatangi diri kita maka kita akan tersadar untuk segera menjauhinya, Sedangkan fangshen membuat diri kita akan dipenuhi oleh cinta kasih sehingga kita dapat terbebas dari rasa memmbenci. Fangshen juga membuat diri kita selalu terlindung oleh kebajikan yang kita perbuat. Semakin banyak kita menolong orang maka akan semakin banyak kita terlindung oleh kebajikan.

Readmore..

Sidhi : Kalyanamitta

| | 0 comments

Dhammadesana : Sidhi Agustiana Taniman
Dhammapada : Tommy
Penulis : Tommy

Boleh dibilang hari yang cukup istimewa pada kebaktian remaja kali ini. Kenapa? karena pada kebaktian kali ini, Sidhi A.T. yang merupakan Ketua dari PMV SAG 2009-2010 bersedia untuk mengisi Dhammadesana kali ini. Saya sendiri mengenal sosok Sidhi belum lama. Sekilas, Sidhi terlihat pendiam, malu-malu dan grogian. Tapi hari ini, pandangan saya tentang ketua PMV yang baru ini berubah. Walau cara berbicara yang dibawakannya tidak sebagus penceramah lainnya karena aksen pembicaraanya yang belum terbiasa, tapi saya sungguh kagum dengan sosok ketua PMV yang satu ini. Sama seperti halnya Yessica F.S. yang sebelum menjadi ketua PMV 2008-2009 agak pendiam, setelah menjadi ketua PMV, menjadi lebih aktif. Saya yakin, apabila terus dilatih, Sidhi pun akan bisa menjadi pembicara yang baik.
Isi dari Dhammadesana yang Sidhi bawakan sangat bagus, seperti berikut :

Kalyanamitta berasal dari kata Kalyana yang artinya teman dan Mitta yang artinya baik atau bagus. Jadi Kalyanamitta berarti teman yang baik atau bagus yang dapat menjadikan diri kita selalu waspada dalam menempuh kehidupan dunia dan setelah meninggal. Terdapat empat macam sahabat yang dipandang berhati tulus ( suhada ) : yaitu sahabat penolong ( upakaro mitto ), sahabat pada waktu senang dan susah ( samanasukha dukkhomitto ), sahabat yang memberi nasehat baik ( atthakhayamitto), dan sahabat yang bersimpati ( anukampakamitto ).

1. Ciri-ciri sahabat yang suka menolong ( Upakaromitto ) adalah :
1. Ia yang menjaga dirimu sewaktu lengah;
2. Ia yang menjaga dirimu sewaktu engkau lengah;
3. Ia yang menjaga dirimu sewaktu dalam ketakutan;
4. Ia memberi bantuan dua kali daripada yang engkau perlukan.
2. Ciri-ciri sahabat pada waktu senang dan susah ( Samanasukha dukhomitto )
1. Ia menceritakan rahasia-rahasia dirinya kepadamu;
2. Ia menjaga rahasia-rahasia dirimu;
3. Ia tidak meninggalkan dirimu sewaktu engkau berada dalam kesulitan;
4. Ia bahkan bersedia mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu.
3. Ciri-ciri sahabat yang memberi nasehat baik ( Atthakhayamitto ) yaitu:

1. Ia mencegah dirimu berbuat jahat;
2. Ia menganjurkan dirimu untuk berbuat benar;
3. Ia memberitahukan apa yang belum pernah engkau dengar;
4. Ia menunjukan jalan ke surga.
4. Ciri-ciri sahabat yang bersimpati ( Anukampakamitto )

1. Ia tidak merasa gembira terhadap kesengsaraanmu;
2. Ia merasa senang atas kesejahteraanmu;
3. Ia mencegah orang lain berbicara jelek tentang dirimu;
4. Ia membenarkan orang lain memujimu.

Akalyanamitta ( Teman yang tidak baik )
Akalyanamitta artinya teman atau kawan yang tidak baik atau jahat yang berkeinginan untuk menjerumuskan diri kita sehingga mengalami penderitaan ( dukkha ). Terdapat empat orang yang harus dipandang sebagai musuh yang berpura-pura sebagai sahabat (amittamittapatirupapaka) yaitu : orang yang tamak ( Annadathuro ), orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat sesuatu ( Vaci paramo ), penjilat ( Annuppiyabhani ) dan kawan pemboros ( Apayasahayo ).

1. Ciri-ciri orang yang berpura-pura sebagai sahabat ( Annadathuharo ) yaitu:
1. Ia yang tamak;
2. Ia memberi sedikit dan meminta banyak;
3. Ia melakukan kewajibannya karena takut;
4. Ia hanya ingat akan kepentingannya sendiri.

2. Ciri-ciri seorang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat sesuatu ( Vaci paramo ) yaitu:
1. Ia menyatakan bersahabat berkenaan dengan hal-hal yang lampau;
2. Ia yang menyatakan persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang mendatang;
3. Ia berusaha untuk mendapatkan simpati dengan kata-kata kosong;
4. Bila ada kesempatan untuk membantu, ia menyatakan tidak sanggup.
3. Ciri-ciri seorang penjilat ( Annupiyabhani ) yang berpura-pura sebagai sahabat yaitu:
1. Ia menyetujui hal-hal yang salah;
2. Ia tidak menganjurkan hal-hal yang benar;
3. Ia akan memuji dihadapanmu;
4. Ia berbicara jelek tentang dirimu dihadapan orang-orang lain.
4. Ciri-ciri seorang pemboros ( Apayasahayo ) yang berpura-pura sebagai sahabat yaitu:
1. Ia menjadi kawanmu apabila enkau gemar minum minuman keras;
2. Ia menjadi kawanmu apabila engkau gemar berkeliaran di jalan-jalan pada waktu yang tidak pantas;
3. Ia menjadi kawanmu apabila engkau mengejar tempat-tempat hiburan;
4. Ia menjadi kawanmu apabila engkau gemar berjudi.


Semoga bermanfaat.

Readmore..

Air Parita

| | 0 comments

Pada hari jumat tgl 8 januari 2010. saya & Nanda diberi tugas oleh ci Grace untuk merangkum ceramah pada kebaktian umum yang akan di isi oleh Bhante dari Vihara Dhammacaka Jaya Jakarta. Yang akan dimuat untuk blog ini. Ci Grace Chandra menugaskan kami berdua karena ci Grace sedang kurang sehat.

Pada malam hari ini Bhante sangat senang dapat mengisi dhammadesana di Vihara surya Adhi Guna ini. Ini terlihat dari keinginan Bhante untuk masuk ke ruangan Dhammasala sebelum dipersilahkan masuk. Saat umat sedang bermeditasi Bhante ingin segera masuk, ini karena sebelumnya Bhante bertanya kepada saya berapa umat yang hadir, lalu saya menjawab ya kira-kira ada lah 150 orang. Lalu Bhante menjadi segera ingin melihat dan masuk ke dalam ruang dhammasala lebih cepat dari rencana. Karena itu malam hari ini tidak ada pembacaan dhamapada.

Saat dhammadesana Bhante menjelaskan tentang air parita.

mungkin banyak dari kita yang bertanya tentang khasiat atau manfaat dari air parita.
Adakah manfaatnya???.
Pertaanyaan ini dapat dijawab melalui 2 tinjauan yaitu tinjauan dari sutta dan tinjauan ilmiah.
Dalam dhammadesana Bhante kali ini, Bhante menerangkan tentang sejarah kenapa ada air parita dan apa tujuannya.

Bhante bercerita 10 tahun yang lalu saat bahte masih menjadi umat awam Bhante belum mengerti tentang air parita. Orang-orang yang pergi ke vihara selalu meminta para bhikku yang hadir untuk memberikan air parita, mungkin tujuannya agar hidupnya berhasil dan sukses, jika pelajar mungkin agar mendapat nilai yang bagus.

Tetepi setelah Bhante memasuki sangha, beliau tinggal di Vihara mendut menjadi samanera dan harus belajar selama 1 tahun saat beliau belajar tidak ada guru yang mengajar atau menjelaskan tentang air parita tetapi bhante dengan semangatnya mencari tau sendiri dengan membaca-baca buku. Lalu beliau menemukan salah satu buku tipitaka yang menjelaskan tentang sejarah dari air parita yaitu khuddakapatha.

Didalam khuddakapatha dijelaskan bahwa Buddha memberikan intruksi kepada Ananda untuk menghafalkan dan mempelajari suta permata (parita Ratana sutta), setelah paham Ananda diperintahkan untuk mengajarkan kepada para Bhikku dan para umat.

Pada saat itu di kota Vesali terjadi sebuah bencana, awalnya terjadi kekeringan yang panjang mengakibatkan kelaparan lalu banyak berjatuhan korban karena bencana ini. Karena terlalu banyak yang meninggal, mayat-mayat itu pun tidak dimakamkan, tetapi hanya didiamkan begitu saja. Lama kelamaan mayat-mayat itu pun membusuk akibatnya banyak makhluk-makhluk yang berdatangan ketempat itu yang mencium aroma bau busuk mayat, makhluk-makluk itu adalah raksasa asura dan makhluk peta kunapasa. Selain itu juga banyak menyebar penyakit.

Setelah Buddha mendengar berita ini lalu Buddha datang ke kota Vesali pada saat Buddha datang banyak keajaiban yang yang ikut datang juga yaitu salah satunya turunnya hujan lebat tiada henti-hentinya. Hujan ini disebut hujan teratai, hujan ini aneh. Mereka yang ingin basah terkena hujan maka akan basah tetapi mereka yang tidak ingin basah maka tidak akan basah dan akan tetap kering.

Karena hujan ini tidak kunjung berhenti hingga berhari-hari maka terjadi banjir, kira-kira setinggi pinggang orang dewasa, karena banjir ini mayat-mayat yang berserakan menjadi hanyut terbawa airkesungai gangga lalu menuju ke laut. Setelah itu kota Vesali menjadi bersih dari mayat-mayat, raksasa pun pergi tetapi makhluk-makhluk peta bersembunyi di balik kandang-kandang ternak. Lalu Buddha beserta rombongan 500 Bhikku dan para umat berbaris lalu membacakan sutta permata (parita Ratana sutta). Ini lah pertama kalinya Ratana sutta dibacakan bersama-sama dan menggema di seluruh negri.
Buddha dibaris paling depan sambil membawa mangkok yang berisi air lalu memercikan air itu keseluruh penjuru, setelah pemercikan air itu makhluk-makhluk peta tersebut yang sebelumnya bersembunyi di belakang kandang ternak menjadi lari dan kabur.
Setelah itu Sang Buddha membabarkan Ratana sutta lalu 84000 mkhluk yang hadir baik manusia atau pun dewa mencapai kesucian sottapana.
Dari cerita tadi dapat disimpulkan bahwa manfaat air parita adalah untuk membersihkan tempat dari makhluk-makhluk seperti raksasa dan makhluk peta.
Itu tadi menurut tinjauan sutta.
Sekarang jika menurut tinjauan ilmiah, para pemikir ilmiah selalu menuntut bukti dan fakta. Ada suatu penelitian yang meneliti air.
Menurut penelitian ilmiah air dapat merekam apa yang kita pikirkan.
Ada 2 jenis air. air yang pertama diberi kata-kata, oh sungguh indah, kata2 yang halus dan lembut, sedangkan yang satunya diberi kata-kata ari kau sungguh jelek dan bau. Setelah itu air itu di bekukan lalu saat mencair dilihat dengan menggunakan alat, air yang di beri pujian menghasilkan molekul-molekul yang baik dengan bentuk seperti kristalbernentuk segi enam, sedangkan yang di jelek-jelekan mendapatkan hasil yang buruk air menjadi berwarna coklat seperti lumpur. Dari sini dapat mebuktiak kata- kata yang baik akan berdampak sesuatu yang baik pula.

Ucapan itu bersumber dari pikiran jadi jika kita senantiasa berfikir positif dan berbicara yang baik maka apa yang kita lakukan akan baik pula dan kita akan selalu sehat dan bahagia.
Ingatlah dhammapada gatha 1 dan 2. yang berbunyi
pikiran adalah pelopor dari segala seuatu.
Pikiran adalah pemimpin
Pikiran adalah pembentuk
Jika seseorang melakukan perbuatan baik maka
Kebahagiaan akan mengikutinya.
Bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.
Semoga bermanfaat....
Semoga semua makhul berbahagia.....
Be Happy...

Readmore..

Bhante Upasammo : Sunguh sulit untuk mendengarkan ajaran kebenaran

| | 0 comments

Protokol : Romo Pannajayo
Penyalaan Lilin Altar : Bpk.Aen
Pembacaan Dhammapada : Ibu Vina (gatha 152 dan 153)
Dhammadesana : Y. M. Bhante Upasamo
dari Vihara Dhammacakkha Jaya, Sunter
Tema : Kiccham saddhammasavanam
(Sungguh sulit untuk mendengarkan ajaran  kebenaran)


Malam ini untuk kedua kalinya Y. M. Bhante Upasamo mengisi Dhammadesana di Vihara Surya Adhi Guna, Rengasdengklok. Pada kesempatan ini Bhante membahas tentang bait Dhammapada gatha 182 baris ketiga yang berbunyi "Kiccham saddhammasavanam", yang berarti sungguh sulit untuk mendengarkan ajaran kebenaran (Dhamma).

Dalam Anguttara Nikaya disebutkan bahwa suatu ajaran dapat dikatakan sebagai ajaran kebenaran apabila ajaran tersebut memenuhi 8 kriteria. Sang Buddha berkata, "Itu adalah Dhamma, itu adalah Vinaya, dan itu adalah ajaran Sang Guru jika ajaran tersebut:
1. Ajaran itu mengajarkan tanpa nafsu
2. Ajaran itu bebas dari kemelekatan
3. Ajaran itu menuju pada pelepasan
4. Ajaran itu menuju pada sedikit keinginan
5. Ajaran itu mengajarkan pada kepuasan
6. Ajaran itu mengajarkan pada kesendirian
7. Ajaran itu mengajarkan pada membangkitkan semangat, bukan pada
kelembaman
8. Ajaran itu mengajarkan pada kesederhanaan bukan pada kemewahan

Untuk mendengarkan dhamma tidaklah mudah dan perlu prose yang panjang, Sebagai contoh Bhante Upasamo dapat datang ke Vihara Surya Adhi Guna untuk membabarkan Dhamma karena Bhante sudah menjalani kehidupan samanera selama dua tahun dan ada umat yang bersedia antar jemput Beliau Jakarta-Rengasdengklok. Oleh karena itu kita harus menghargai dan mendengarkan Dhamma karena sungguh sulit untuk melakukan pembabaran Dhamma. Walaupun yang membabarkan Dhamma kurang mahir dan ajarannya sederhana kita patut mendengarkan dan mengambil manfaat dari pembabaran Dhammanya.

Kita patut menghargai pembabar Dhamma karena menjadi pembabar Dhamma tidaklah mudah dan agak riskan. Terkadang apabila seorang pembabar Dhamma mempunyai perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran yang dia babarkan maka hal ini akan dipertanyakan oleh orang yang mendengarnya. Sebenarnya jika kita mendengarkan Dhamma dari seseorang yang perbuatannya tidak ideal dengan ajarannya bukan berarti kita tidak perlu mendengarkannya. Kita tetap masih dapat memperoleh manfaat jika kita tetap mendengarkan dan mempraktekkan ajarannya.

Begitu pula jika ada seorang Dhammaduta memberikan ajaran yang sederhana, kita pun harus tetap mendengarkan. Ada sebuah cerita seorang guru yang selalu mengajarkan ajaran yang sederhana, semua ajarannya hampir sama dan diulang-ulang. Suatu hari sang Murid bertanya pada Gurunya, "Guru.., mengapa Guru selalu mengajarkan ajaran yang sederhana, hampir sama dan selalu diulang-ulang." Lalu sang Guru menjawab, "Memang betul ajaranku sederhana dan seringkali diulang-ulang. Akan tetapi apakah kamu sudah dapat melakukan dengan baik ajaranku yang sederhana tersebut?." Sang murid pun tersentak dan tersadar. Ia menyadari walaupun sungguh sederhana ajaran Gurunya tetapi ia belum dapat mempraktekkannya dengan baik.

Dalam Anguttara Nikaya dikatakan ada 5 manfaat yang dapat kita peroleh dari mendengarkan Dhamma yaitu:
1. Mendengar sesuatu yang belum pernah di dengar
2. Memantapkan atau mengingat kembali apa yang sudah didengarkan
3. Keragu-raguannya hilang
4. Meluruskan pandangan
5. Batin menjadi tenang dan damai 

Kita umat Buddha berangkat ke Vihara dengan berbagai alasan yaitu: merasa akab dengan pembicaranya sehingga merasa perlu mendengarkan dhammadesananya; merasa pergi ke Vihara dapat mengisi waktu luangnya; datang karena takut dikatakan malas; atau untuk menguji dengar bagaimana kemampuan Dhammaduta yang mengisi kebhaktian pada saat itu. Walaupun datang ke Vihara dengan berbagai alasan yang tidak sama tetapi sungguh beruntung kita dapat datang ke Vihara dan mendengarkan Dhamma. Dapat kita bayangkan kalau kita tidak mendengarkan Dhamma maka diri kita tak kan sebaik sekarang ini. Dahulu kita menganggap perbuatan amoral adalah baik akan tetapi setelah mendengarkan Dhamma pastilah kita tidak mau melakukan perbuatan amoral lagi.

Saat ini untuk bertemu dengan Dhamma semakin mudah karena buku-buku Dhamma semakin banyak dan Vihara semakin banyak. Hal ini sangatlah bagus. Oleh sebab itu janganlah disia-siakan.
Sebelum menutup Dhammadesananya. Bhante menganjurkan kami agar tidak melihat siapa yang membabarkan Dhamma tetapi lihatlah ke dalam, lihat apa yang dapat kita praktekkan. Dengan jalan ini maka kita mendapatkan manfaat untuk berubah dari tidak baik menjadi baik.

Demikian Dhammadesana dari Bhante Upasamo, Semoga Bermanfaat. Sadhu...! Sadhu...! Sadhu...!

Readmore..

Dimensi Alam Kehidupan yang Berbeda

| | 1 comments

 “ Misteri……….” Itulah kata yang selalu membangkitkan selera orang untuk menemukan klarifikasi dan realitas. Agak aneh kedengarannya upaya mengungkap dan mencari keabsahan misteri. Dan sepertinya mustahil untuk mendapat jawaban realitasnya. Namanya saja sudah misteri. Misteri merupakan fenomena yang tak kunjung usai untuk diburu dengan berbagai cara, baik dengan membaca fenomena-fenomena alam dengan ketajaman insting sebagai pengalaman pribadi, menghayati ungkapan pengalaman spiritual dari tatanan tradisional, maupun menggunakan terapan teknologi. Pendeknya, semua dilakukan untuk mengungkap fenomena misteri itu.

Dalam dunia hiburan di Indonesia, menarik untuk disimak bahwa fenomena misteri menjadi komoditas unggulan yang sangat sensasional sebagai menu tayangan di televisi belakangan ini, mulai dari “Hoka-Hoka”, “Gentayangan”, sampai “Memburu Hantu”. Beragam sudut pandang dan versi yang sangat variatif disajikan ; entah sebagai hiburan semata, entah untuk meyakinkan pemirsa akan adanya sisi kehidupan di luar realitas konvensional dunia nyata, yakni apa yang sebagai kesepakatan umum disebut dengan “Dunia Maya” atau “Dunia Lain”. Dunia maya yang dimaksud di sini tak lain dan tak bukan adalah suatu dunia dengan karakter dan muatan tata kehidupan yang berbeda dengan realitas duniawi.
Keyakinan apapun, termasuk agama-agama, memiliki klarifikasi dan referensi tersendiri sebagai konfirmasi bahwa dunia maya atau dunia lain benar-benar ada, bukan hanya isapan jempol belaka. Bila kita memanfaatkan analisis batiniah kita secara seksama, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa dimensi dunia lain itu benar-benar ada.

Berbagai agama telah membenarkannya meskipun dengan versi yang berbeda-beda. Bagi agama-agama yang menganut paham teologisme dengan irama dogma yang kaku dan padat, Tuhan memang telah menskenariokan segala sesuatu sedemikian rupa sebagai bukti bahwa Tuhan itu Mahakuasa.. Termasuk dalam kekuasaan-Nya adalah diciptakannya oleh-Nya dimensi dunia yang berbeda dari kehidupan manusia. Bahkan penghuni kehidupan dunia lain adalah makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang tidak dikehendaki. Kalaupun dikehendaki, mereka berfungsi sebagai sarana penguji dan pengganggu manusia agar manusia benar-benar tahan uji untuk bias menghadap ke sisi Sang Pencipta. Jadi manusia sebagai objek dan subjek atau pelaku sebuah scenario yang melibatkan makhluk-makhluk rendah, seperti iblis, hantu, raksasa-raksasi, binatang dan lain-lain. Mereka semua adalah alat peraga ujian bagi manusia. Bila manusia mampu melewati hadangan alat-alat peraga tersebut, maka baginya jalan menuju sisi Sang Pencipta akan mudah. Jadi, pelaku skenario dituntut untuk selalu patuh dan taat. Ia tidak berkesempatan memilih peran dalam lakon yang telah diskenariokan. Bila sudah demikian tentu tidak sulit dijalani, yang penting menerima saja ; yang penting taat dan patuh sepenuhnya. Sang pelakon tidak perlu mengeluarkan dan mengembangkan energi dan potensi spiritualnya. Sang pelakon tidak perlu menggunakan instrument analisis dalam ruang laboratorium intelektual dan realita – dengan memanfaatkan alat-alat kelengkapan berupa formulasi hukum karma – untuk menguji kesahihan sebab-akibat fenomena dimensi kehidupan lain (ataupun hal-hal lain). Dalam paham teologisme, yang diperlukan adalah ketaatan menerima apa adanya. Kalaupun orang berusaha untuk tahu labih jauh tentang proses dan adanya sebab-akibat, usaha demikian tidak bisa keluar dari jalur yang sudah ditulis dalam skenario. Jadi tambahan pengetahuan itu hanya berfungsi sebagi suplemen agar ia lebih taat lagi. Kalaupun ia menemukan bahwa penjelasan sebab-akibat tersebut ternyata bukan jalur dan cabang dari paham teologisme, di sana ia sudah terhalang oleh rintangan “dosa”. Dan orang umunya gemetar bila berhadapan dengan si dosa itu, sehingga rasa penasaran tentang eksistensi sang pembuat skenario berikut karyanya cukup sampai pada “Itu sudah rahasia”. Ingin tahu lebih jauh lagi tentang asal muasal dan lain-lain? Stop !

Inilah yang barangkali menjadi formula utama paham teologisme. Apakah Buddhisme, atau yang akrab kita sebut agama Buddha, juga menganut paham ini? Tidak !

Inilah paham yang berbeda dengan apa yang diuraikan di atas, yang sama sekali bukan seperti itu. Agama Buddha menggunakan prinsip humanisme dalam menerapkan praktek tata kehidupan. Umat Buddha dipersilahkan untuk sedapat mungkin mengetahui, menjalani, dan mengalami sendiri tanpa sekat yang membelenggu sepanjang hal itu tidak mengganggu proses pencapaian kebijaksanaan.
Demikian juga halnya, agama Buddha memahami dimensi dunia lain sebagai bagian dari pengetahuan Dhamma. Hal tersebut tentu baik dalam rangka menguatkan sikap dalam menata kehidupan.
Benarkah setan adalah makhluk yang merugikan manusia ?

Dalam agama Buddha, adanya kehidupan makhluk-makhluk di luar dunia kita bukan sesuatu yang aneh atau misterius. Justru agama Buddha jauh lebih memadai dalam menjelaskan hal itu. Ada empat alam rendah, di bawah alam manusia, yang sering diilustrasikan ataupun tidak, makhluk seperti itu memang ada. Namun keberadaannya tentu tidak mudah ditangkap, dengan media visual sekalipun, karena pada dasarnya makhluk demikian dimensinya adalah alam batin, walaupun ada sementara orang yang bisa melihatnya secara kasat mata. Sebenarnya makhluk tersebut bukan merupakan – kalau boleh saya sebut – produk gagal dari Sang Pencipta. Setan, iblis atau hantu merupakan wujud akumulasi kolektif akusala kamma atau perbuatan buruk yang dilakukan suatu makhluk (manusia) semasa hidupnya sebelum terlahir di alam rendah. Hidup bukan hanya berlangsung sekali saja. Bagi orang yang tidak bisa menerima konsep hukum karma, dalam hal ini kelahiran kembali, sulit dipahami bahwa yang terlahir di alam rendah sebenarnya adalah manusia yang gagal menjalani hidup dengan sifat baik.

Makhluk-makhluk alam rendah terlahir dengan membawa sifat buruk. Ada empat alam rendah. Keempatnya dihuni oleh bentuk dan karakter tata kehidupan yang berbeda-beda. Empat alam tersebut adalah alam binatang (tiracchana bhumi), alam setan (peta bhumi), alam asura (asurakaya bhumi), dan alam neraka (niraya bhumi).

Sudah barang tentu kita tidak penasaran dengan eksistensi alam binatang. “Anggota-anggotanya” secara fisik hidup berdampingan dengan dunia manusia. Namun tentu tidak demikian halnya dengan makhluk di alam rendah lain seperti setan atau iblis. Makhluk di alam setan, seperti halnya binatang, menjalani proses hidupnya sebagai hasil dari karma buruknya. Makhluk di alam setan ada yang bisa berkehendak baik, misalnya setan yang mampu merasuki tubuh, atau lebih tepatnya merasuki ketidaksadaran manusia, disebabkan oleh adanya keterkaitan karma dengan orang yang dirasuki. Itulah sebabnya kita melihat orang yang “kemasukan” bisa menjelaskan beberapa hal baik, konon mampu mengobati penyakit tertentu pada orang tertentu pula. Jelaslah bahwa setan juga ada sisi baiknya, meskipun sedikit dan sangat jarang. Lagipula, sekali lagi, tidak semua setan bisa melakukan hal demikian.

Setan adalah makhluk yang belum terlahir. Ia adalah makhluk gentayangan. Meskipun demikian, ia tetaplah bukan makhluk yang jahat seperti yang dituduhkan oleh para penganut keyakinan/agama tertentu. Tidak terdapat cukup bukti dan alasan yang jelas bahwa setan adalah pengganggu manusia. Justru manusialah yang sering membuat setan menjadi terganggu. Berikut adalah sekilas contoh terganggunya makhluk rendah oleh perilaku manusia.

Dikisahkan, ada sekelompok bhikkhu yang berniat melaksanakan meditasi di sebuah hutan yang lebat. Pohonnya besar-besar. Di berbagai sisi bukit hutan tersebut terdapat gua-gua yang sangat cocok sebagai tempat meditasi. Maka para pertapa, Bhikkhu Dutannga bermaksud memanfaatkannya sebagai tempat bertapa. Namun apa yang terjadi ketika para pertapa mulai bermeditasi? Mereka tiba-tiba merasa lelah secara fisik. Suasana hutan yang semula sunyi senyap dan damai berubah menjadi sangat menyeramkan. Suara-suara aneh berkumandang dalam berbagai irama dan membuat bulu roma berdiri. Kala malam hari nan gelap tiba, di sekitar para pertapa muncul pelbagai bayangan seperti, sesosok kerangka manusia gemerentak berjalan-jalan, macam-macam sosok tubuh manusia yang tidak lengkap, dan sebagainya. Juga tercium bau amis dan bau busuk yang menyengat ; belum lagi munculnya suara tangisan yang memilukan dan suara-suara gaduh yang tidak jelas asalnya yang sekonyong-konyong menyergap pendengaran para pertapa. Semua kekacauan itu merupakan kerjaan makhluk-makhluk rendah yang berdiam di tempat tersebut karena merasa terganggu atas kehadiran manusia di hutan tempat mereka tinggal. Tentu saja para pertapa merasa sangat terganggu sehingga tidak dapat bermediatsi dengan baik. Maka para bhikkhu pun memutuskan untuk menghadap Sang Buddha. Dengan segala daya dan upaya, mereka akhirnya berhasil menghadap Sang Buddha. Setelah memberi hormat, salah satu bhikkhu menceritakan kondisi dan situasi hutan tempat mereka bertapa, khususnya perihal ketidaknyamanan mereka, seraya memohon Sang Buddha merekomendasikan tempat/hutan lain.

Setelah Sang Buddha melakukan survey dengan Mata Batin – Nya, Beliau justru menyarankan agar para bhikkhu kembali ke hutan yang tadi lagi, karena hutan itu sangat ideal untuk bertapa.. Namun Beliau memberi nasihat dan bekal yang patut kepada para pertapa, yaitu bahwa bila sebelumnya mereka mencoba melawan tatkala diganggu oleh makhluk rendah/setan-iblis-raksasa/raksasi dan sebangsanya, kali ini mereka harus melimpahkan cinta kasih dan kasih sayang secara total. Maka Beliau kemudian mengajarkan syair Kasih Sayang yang Harus Dikembangkan (Karaniyametta Sutta). Dengan modal itu para pertapa kembali ke hutan tersebut. Dan ternyata memang apa yang dirasakan pertapa sama sekali berubah ! Mereka justru mendapat perlakuan yang luar biasa dari penghuni-tak-kasat-mata hutan tersebut. Karena apa? Karena para pertapa telah melimpahkan kasih sayang yang besar kepada mereka – makhluk-makhluk rendah penghuni hutan tersebut.

Ini bukti bahwa makhluk semacam itu justru harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang ; bukan dengan hujatan, tuduhan, sangkaan, apalagi pengusiran dan perlawanan. Bila dengan makhluk yang tak tampak saja manusia sudah berlaku kasar dan curiga, menghujat, mendakwa (intinya menjadikan mereka musuh), bagaimana dengan sesama manusia dengan sesama manusia yang nyata-nyata ada, yang acap tidak sepaham dan sejalan dalam pola pikir dan perilaku? Benarkah sebaik-baiknya manusia pasti punya musuh dan sejahat-jahatnya masih punya teman? Kalu sejahat-jahatnya orang saya yakin pasti masih punya teman, ya sesama penjahat ! Namun kalau orang baik ? Layakkah ia mengklaim dirinya punya musuh ? Kalau jawabannya ya, berarti kebaikannya gugur demi kebenaran dan kebaikan itu sendiri.
Manusia yang tidak memiliki pemahaman yang benar dan proposional mengganggap bahwa setiap setan/iblis memang diciptakan untuk membuat keonaran bagi mental manusia. Sungguh itu merupakan penafsiran yang salah bila dipahami dari sudut pandang Buddhisme.
Benarkah setan/iblis merupakan produk gagal ?

Apabila memang dalam buku suci terdapat referensi atau malah justifikasi bahwa setan merupakan makhluk pengganggu manusia, hal itu akan menguatkan kadar kebencian mereka yang menjadikan buku suci tersebut sebagai panduan dan tuntunan spiritualnya terhadap makhluk rendah tersebut. Tetapi mereka yang menganut ajaran Sang Buddha justru memiliki pandangan terbalik. Bukankah manusia rendah semisal setan/iblis merupakan bagian dari objek yang mesti ditolong ?

Sebagai manusia, yang memiliki kadar intelektual yang tinggi dan berkembang serta mampu meningkatkan khazanah kebijaksanaan, tentu kita dapat berpikir dengan bijak. Bahkan secara konvensional saja kita dapat menganalisis dari segi kemanusiaan. Kita bisa memperkuat potensi kehendak untuk menolong dan membantu mereka yang pantas ditolong sekalipun itu harus dengan menyeberangi sekat dimensi dunia yang berbeda. Berbeda karena eksistensi makhluk rendah yang demikian adalah dalam dunia batin (batiniah). Ia sedang menjalani hasil dari akumulasi akusala karma – nya. Sementara kita, manusia, dilengkapi dengan jasmani yang konstruktif plus kemampuan untuk mengembangkan potensi kebijaksanaan dan kualitas proses kehidupan hingga terakhirinya samsara.

Untuk menilai sikap manusia terhadap makhluk di alam rendah, kta dapat membandingkannya dengan apa yang terjadi di alam manusia. Bagaimana orang yang kurang beruntung diperlakukan kasar dan tidak manusiawi ? Mungkinkah ia akan meresponnya dengan hormat dan santun ? Tentu tidak, bukan? Demikian pulalah halnya bila kita berlaku kasar terhadap makhluk rendah. Mereka akan bersikap kasar pula, karena, walaupun umumnya disebut makhluk halus, pada dasarnya mereka hidup dalam dunia yang kasar. Kita menyebut “halus” semat-mata karena konstruktif ia tidak tertangkap oleh panca indera kita secara nyata.

Jadi, yang patut digaribawahi di sini adalah bahwa makhluk di alam rendah bukan merupakan produk dan desain dari Sang Maha Pencipta sebagi kutukan atau hukuman.
Semoga semua makhluk dapat mempertahankan kesejahteraan yang diperolehnya, dan semoga semua makhluk saling memancarkan cinta kasih dan kasih sayang.

Readmore..

Jawaban Atas Siapakah Sang Buddha?

| | 0 comments

Pada suatu waktu seorang pertapa bernama Dona, memperhatikan tanda-tanda dari bekas jejak Sang Buddha, menghampiri Beliau dan bertanya pada Beliau : 

“ Yang Mulia tentunya Deva ?“ ¹
“ Tentu saja bukan, pertapa, saya bukan Deva,” Jawab Sang Buddha.
“ Lalu Yang Mulia tentu Gandhaba ?” ²
“ Tentu saja bukan, pertapa, saya bukan Gandhabha.”
“ Lalu Yakkha ?” ³
“ Tentu saja bukan, pertapa, bukan Yakkha.”
“ Lalu Yang Mulia tentu seorang Manusia “
“ Tentu saja bukan, pertapa, saya bukan seorang manusia.”
“ Lalu kepada siapa Yang Mulia berdoa ?”
Sang Buddha menjawab bahwa Beliau telah menghancurkan kekotoran-kekotoran dari kondisi kelahiran kembali seperti Deva, Gandhabha, Yakkha atau seorang manusia dan menambahkan :
“ Seperti sekuntum bunga teratai, yang cantik dan elok.
Tidak menjadi kotor karena air.
Saya tidak menjadi kotor karena air,
Oleh karena itu, pertapa, saya seorang Buddha “
( Anguttara Nikaya ii, hal 37 )

Sang Buddha tidak menyatakan sebagai Titisan (Avatara) dari dewa Hindu : Vishnu, yang sebagaimana bhagavadgita menyanyikannya dengan sangat menarik, dilahirkan berulang kali dalam masa yang berbeda untukk melindungi orang yang berbudi, menghancurkan yang jahar, dan menetapkan Dhamma (Kebenaran).

Menurut Sang Buddha tidak terhitung banyaknya para Dewa dan kelompok makhluk yang tunduk pada kelahiran dan kematian; tetapi tidak ada satupun Dewa tertinggipun yang mengatur nasib-nasib manusia dan mempunyai kekuatan hebat untuk muncul di dunia pada jarak waktu yang berbeda, menggunakan bentuk manusia sebagai suatu sarana. ?

Foot note :
1. Deva : Suatu makhluk dewa yang bertempat tinggal di tempat yang amat menyenangkan.
2. Gandhabha : Pemusik Surgawi.
3. Yakkha : Seorang Setan.
4. Walaupun guru-guru Hindu, dengan tujuan menarik kedalam agama Hindu untuk memperbanyak pengikut-pengikut Agama buddha, telah dengan tidak adil menyebut Sang Buddha sebagai Titisan Dewa ( Avatara ), suatu gagasan yang Beliau tidak akui pada masanya.

Readmore..

Y. M. Bhante Adhiratano : Bekal yang kita tabung agar kita bahagia.

| | 0 comments

Kebhaktian Umum, 02 Oktober 2009
Penyalaan Lilin Altar : Bapak Aen
Protokol : Romo Pannajayo
Pembacaan Dhammapada : Ibu Empang (Gatha 320 dan 321)
Dhammadesana : Y. M. Bhante Adhiratano
penulis : Grace Chandra

 
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa.. (3X)
Namo Sang Yang Adhi Buddhaya, Namo Buddhaya.. !!!

Tiga tahun yang lalu saat Y. M. Bhante Adhiratano masih Samanera, Beliau pernah mengunjungi Vihara Surya Adhi Guna. Saat ini untuk kunjungan yang kedua kalinya Beliau memberikan Dhammadesana tentang bekal sejati yang harus kita tabung guna menghadapi kehidupan kita yang akan datang.
Pada awal Dhammadesananya Y. M. Bhante Adhiratano mengulas tentang bencana gempa di Sumatera Barat. Bhante mengatakan bencana ini menunjukkan ketidak kekalan (Anicca) hidup ini. Segala sesuatu yang terjadi sangatlah tidak pasti, yang pasti hanyalah kematian yang suatu saat akan menjemput kita. Dalam mengarungi kehidupan yang tidak kekal ini sangatlah dibutuhkan suatu “Bekal” yang dapat menjamin diri kita akan bahagia.

Lalu “Bekal” apakah yang harus kita tabung dan miliki agar kita bahagia???. Sebagian orang berpikir jika mereka mempunyai bekal kekayaan duniawi yang melimpah ruah maka ia akan bahagia. Persepsi ini timbul karena mereka merasa bahagia setiap memiliki sesuatu. Akhirnya mereka merasa harus memiliki…, memiliki dan memiliki terus agar hidupnya berbahagia.

Kebahagiaan yang sejati bukanlah yang seperti itu. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang dapat diperoleh bukan hanya dengan memiliki tetapi juga dengan melepaskan sesuatu. Jika kita mempunyai sifat yang dapat merelakan barang kita untuk membantu orang lain (berdana) maka kita juga akan merasakan suatu kebahagiaan.

Dana merupakan salah satu bekal kebajikan yang akan menuntun kita ke kehidupan yang lebih baik lagi. Dana merupakan pintu gerbang kebajikan yang sangat mudah dilakukan oleh siapa pun juga. Berdanalah maka kebajikan-kebajikan yang lain akan datang menghampiri kita.

Selain berdana diri kita juga harus membekali diri dengan sila yang baik. Untuk umat awam terdapat lima sila yang harus dipatuhi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Kelima sila itu yaitu: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan asusila, tidak berbohong atau berbicara yang tidak benar dan tidak minum-minuman yang membuat lemahnya kesadaran.

Orang yang mempunyai sila yang baik maka hidupnya akan nyaman dan tentram. Sebagai contoh jika kita hidupnya suka mencuri dan membunuh ketika kita melihat polisi maka diri kita pastilah akan merasa gelisah. Kita merasa ketakutan karena berpikir kemungkinan polisi menangkap kita. Tetapi jika kita selalu menjaga sila (tidak pernah mencuri dan membunuh) maka walaupun disekitar kita ada satu truk polisi tiba-tiba datang ke daerah kita, kita tidak akan merasa gelisah dan ketakutan. Kita hanya berpikir mungkin polisi datang karena ada penjahat di sekitar kita.

Setelah melakukan dana dan sila, alangkah baiknya umat Buddha juga menjalankan meditasi dalam kehidupan sehari-hari. Meditasi merupakan langkah untuk mensucikan pikiran. Meditasi merupakan keunggulan ajaran agama Buddha dibandingkan agama dan kepercayaan lain. Semua agama sama mengajarkan untuk selalu berbuat baik akan tetapi yang mengajarkan untuk memurnikan pikiran hanyalah agama Buddha. Oleh sebab itu seorang umat Buddha yang tidak pernah melakukan latihan meditasi setiap hari belum dapat dikatakan sebagai umat Buddha 100 %.
Pada akhir Dhammadesananya, Bhante berharap Dhammadesana yang beliau berikan pada malam ini membuat kami semua bersemangat menjalankan meditasi. Semoga kami semua dapat semakin maju dalam dhamma.

Pada kebaktian kali ini pula, diakhiri dengan pemberian penghargaan pada umat Buddha di Rengasdengklok yang telah mendonorkan darahnya untuk PMI ( Palang Merah Indonesia ) dalam misi kemanusian. Antara lain, di Anugerahkan kepada Ibu Lisa ( 25 kali donor ) dan kepada Bapak Uu Dharmawan sebanyak ( 10 kali donor ).

Demikianlah ringkasan kebhaktian umum, 02 oktober 2009. Semoga bermanfaat.
Sadhu…! Sadhu…! Sadhu…!

Readmore..

MAKATAKKA JATAKA No. 173

| | 0 comments

(68) “Ayah lihatlah, seorang pengikut yang tua dan miskin dst.  Kisah ini dikisahkan oleh sang maha guru di jetavana tentang sesuatu pemahat intinya akan berkenaan denga  keahlian adalah dalam buku XIV .
Disini sang maha guru berkata “ wahai para siswa tidak hanya sekali ini saja memiliki pengikut seorang penjahat, pada masa lampau ketika ia terlahir menjadi seekor kera dia mengunakan siasat untuk memanaskan suasana “. Kemudian dia mengisahkan kisah yang telah lampau pada suatu masa ketika brahmadata memerintah di  banares Bodhisattva lahir di keluarga brahmana di desa kali ketika ia menginjak dewasa dia menerima pendidikan di  Yakasila dan ia  mengunakan pendidikan tersebut untuk mengarahkan hidupnya.

Istrinya pada saat itu melahirkan seorang putra dan ketika putranya mulai berlatih berjalan  sang istri tersebut  meningal, suaminya melakukan pemahkamannya dan ia berkata “ apa artinya bagiku sekarang ? saya dan anak saya akan hidup sebagai  petapa “  meninggalkan daerah nya dengan di iringgi air mata ia membawa anaknya keHimalayadan memandikannya sebagai praktisi keagamaan dan hidup serta tinggal di akar-akar pohon dan makan buah dari pohon yang ada di hutan.

Pada suatu hari sepanjang musim hujan ketika terjadi hujan lebat ia membakar tongkat untuk menghangatkan tubuh dan terbaring di tumpukan jerami dan di hangatkan oleh api dari hasilk pembakaran tongkat kemudian putranya duduk di samping sembari mengosok kakinya.
Pada saat itu ada seekor kera liar dalam keadaan mengigil kedinginan mendekati api yang dinyalakan oleh sang petapa “ sekarang”, pikirnya, “ seumpama saya datang ke sana secara lebih dekat mereka akan menjerit dan berkata ada kera ! sehingga akan mengusir saya kembali, saya sebaiknya tidak datang kesanamenghangatkan diri sendiri karena saya sudah mempunyai  dia menangis”.

“ Saya harus mendapatkan pakaian pertapa itu dan datang kesanadengan penyamaran “  maka dia mengambil pakaian dari petapa yang telah meninggal  mengumpulkannya dalam keranjang dia bergerak dengan cepat membuka pintu gubuk dengan membungkuknan badannya  di samping pohon palm.  Putra pertapa melihatnya dan berteriak pada ayahnya “ tidak mengetahuinya dia itu adalah kera “ di sini ada  pertapa dalam keadaan mengigil kedinginan datang kearah perapian “ (69) kemudian dia berkata pada bapaknya dengan bait syair pertama agar mengijinkan petapa yangmalangikut merasakan kehangatan api .
“ Ayah lihatlah ! ada seorang pertapa yangmalangyang berada di smaping pohon palm disana di sini kita memunyai satu gubug untuk tinggal maka ijinkan ia untuk tinggal bersama kita untuk berbagi rasa kepada kita.

Ketika bodhisattva mendengar hal itu dia segera pergi ke arah pintu untuk melihatnya, tetapi ketika ia melihat makhluk yang di sangka seorang pertapa  kemudia ia berkata oh … putraku manusia tidak mempunyai wajah seperti itu ia adalah seekor kera dan dia tidak harus berada bersama kita !. kemudian ia mengulangi syair bait ke dua “ dia akan mengotori tempat kita jika ia masuk ke dalam pintu maka ia seperti muka itu
-     mudah dikatakan
-     tidak baik dan tidak cocok bila dikandung dan dilahirkan dalam keluarga brahmana.
“ Bodhisattv mempunyai suatu pikira  ia menangis apa yang kau lakukan dan kau inginkan disana? “
Melemparinya dan  menuntutnya pergi sang kera meninggalkan pakaian pertapa dan tambahlah disanabeberapa pohon kemudian dia mengubur dirinya sendiri di hutan.
Kemudia Bodhisattva mengolah dan melatih untuk hal mulia sampai dia mencapai sifat-sifat brahma dan lahir di alam brahma .

Ketika sang maha guru mengakhiri cerita ini dia mengetahui tumimbal lahir “ laki-laki yang  licik itu adalah sang kera di atas rahula adalah sang anak adalah dari pertapa dan saya sendiri adalah petapa itu”.

Readmore..

KUTADANTA SUTTA

| | 0 comments

Demikianlah yang saya dengar.

1. Pada suatu ketika Sang Bhagava serta sekelompok besar bhikkhu sangha, sebanyak lima ratus bhikkhu, sedang mengadakan perjalanan melalui kerajaan Magadha dan tiba di Brahmanagama, menginap di Ambalatthika, Khanumata. Pada waktu itu Brahmana Kutadanta tinggal di Khanumata, tempat yang ramai, banyak padang rumput, hutan dan jagung, daerah yang dihadiahkan oleh Raja Bimbisara kepadanya dan ia menguasai daerah itu bagaikan raja. Ketika itu persiapan untuk upacara korban besar telah dipersiapkan atas nama Brahmana Kutadanta. Seratus pasang sapi dan seratus pasang kambing telah disiapkan di tempat upacara.

2. Sementara itu, para brahmana dan penduduk Khanumata mendengar berita tentang kedatangan Samana Gotama, maka mereka berduyun-duyun pergi ke Ambalatthika.

3. Pada saat itu, Brahmana Kutadanta berada di teras atas rumahnya untuk istirahat, ia melihat orang-orang yang bepergian itu, ia bertanya kepada penjaga pintu tentang kepergian orang-orang itu. Penjaga pintu menerangkannya.

4. Kemudian Kutadanta berpikir: “Saya mendengar bahwa Samana Gotama mengerti tentang pelaksanaan upacara korban yang sukses dengan ‘tiga metoda serta enam belas peralatan tambahannya’.” Saya tidak mengetahui semua hal ini, namun saya akan melaksanakan upacara korban. Nampaknya baik bagi saya bila saya menemui dan menanyakan hal ini kepada Samana Gotama. Maka ia menyuruh penjaga pintu agar menemui para brahmana dan penduduk Khanumata untuk menunggunya karena ia pun mau menemui Sang Bhagava.

5 – 8. Ketika itu pula, ada banyak brahmana yang berada di Khanumata untuk mengambil bagian dalam upacara korban besar itu. Pada saat mereka mendengar berita ini, mereka menemui Kutadanta dan membujuknya, dengan alasan seperti yang telah mereka ajukan kepada Sonadanda, agar ia jangan pergi. Namun Kutadanta menjawab seperti apa yang dikatakan oleh Sonadanda kepada mereka. Mereka menjadi puas dan pergi bersama Kutadanta menemui Sang Bhagava.

9. Setelah Brahmana Kutadanta duduk, ia mengatakan apa yang telah ia dengar kepada Sang Bhagava dan memohon Beliau menerangkan tentang pelaksanaan upacara korban yang sukses dengan tiga metoda serta enam belas kondisi. “Brahmana yang baik, dengar dan perhatikanlah apa yang akan Saya katakan.” “Baik,” jawab Brahmana Kutadanta.

“Dahulu kala ada seorang raja bernama Mahavijito yang  memiliki harta dan kekayaan yang besar sekali; memiliki gudang-gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, barang-barang serta panen yang baik; lumbung dan penyimpanan harta yang penuh. Pada suatu hari ia sedang duduk sendiri, merenung dan berpikir:

“Saya memiliki segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Seluruh dunia menjadi milikku karena saya taklukkan. Suatu hal yang baik jika saya melakukan upacara korban yang besar guna memantapkan kesejahteraan dan kejayaanku saya untuk kemudian hari.” Raja memanggil brahmana penasehat spiritualnya dan mengatakan apa yang telah dipikirkannya dengan berkata: “Saya akan senang sekali melakukan upacara pengorbanan yang besar demi kejayaan dan kesejahteraanku untuk masa yang lama. Katakan padaku bagaimana caranya?” Penasehat raja menjawab: “Kerajaan sedang dalam kekacauan. Ada perampok yang merajalela di desa-desa dan kota-kota dan mengakibatkan jalan-jalan tidak aman. Bilamana hal itu masih seperti itu, lalu raja akan menarik pajak, maka raja akan bertindak salah. Namun bilamana raja berpendapat, ‘saya akan segera menghentikan perampok-perampok itu dengan cara penangkapan, mendenda, mengikat dan menghukum mati!’ Tetapi kejahatan itu tidak akan lenyap dengan seperti itu. Karena penjahat yang tak tertangkap akan tetap melakukan kejahatan. Ada sebuah cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan kekacauan ini. Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai peternak dan petani, raja berikan makanan dan bibit kepada mereka. Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai pedagang, raja berikan modal kepada mereka. Siapa saja dalam kerajaan yang hidupnya sebagai pegawai negara, raja berikan gaji dan makanan kepada mereka. Orang-orang itu melaksanakan pekerjaan mereka masing-masing, maka pendapatan negara akan meningkat, kerajaan akan aman dan damai, rakyat akan senang dan bahagia, mereka akan menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman.

Raja Mahavijita menerima dan melaksanakan seperti apa yang disampaikan oleh  penasehat kepadanya. Demikianlah, rakyat hidup melaksanakan tugas mereka masing-masing, akibatnya kejahatan lenyap. Perbendaharaan raja bertambah. Kerajaan menjadi aman dan damai. Rakyat menjadi senang dan bahagia, mereka menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman.
12.   Kemudian raja memanggil penasehat dengan berkata: “Kerajaan telah aman dan damai. Saya mau melaksanakan upacara korban yang besar guna kesejahteraan dan kejayaan pada masa mendatang. Bagaimana cara melakukannya dengan baik?”

“Seyogyanya, raja mengirimkan undangan kepada siapa saja dalam kerajaan ini sebagai kesatrianya di kota-kota atau desa-desa; atau para menteri, brahmana atau perumah tangga di kota maupun di desa, dengan mengatakan: ‘Saya akan melaksanakan upacara korban yang besar. Saya harap anda sekalian menjadi saksi guna kesejahteraan dan kejayaanku di masa mendatang’.” “Brahmana, Raja Mahavijita menerima anjuran penasehat dan ia melakukannya. Maka mereka masing-masing para kesatria, menteri, brahmana dan perumah tangga memberikan jawaban yang sama: ‘Semoga maha raja melaksanakan upacara korban. Raja, waktu telah tepat’.”  Begitulah, empat kelompok ini menyetujui pelaksanaan upacara serta ikut bagian dalam upacara tersebut.

13.   Raja Mahavijita memiliki delapan hal, yaitu: Ia dilahirkan dari ayah dan ibu yang memiliki garis keturunan yang baik dari tujuh generasi, tanpa cacat maupun kritikan untuk kelahirannya. Ia rupawan, berpenampilan yang menyenangkan, dipercayai, tubuhnya yang bagus, berwarna cerah, berpotongan yang baik dan tegap.

Ia maha besar, memiliki harta kekayaan yang besar, gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, barang-barang dan panen yang baik, lumbung dan penyimpanan harta yang penuh. Ia sangat berkuasa, komandan pasukan yang loyal dan disiplin, terdiri dari empat divisi yaitu: pasukan gajah, kuda, kereta dan pemanah; nampaknya musuhnya dikalahkan oleh keperkasaannya. Ia yakin pada agama, dermawan, penyantun menyokong para samana, brahmana, orang miskin, pengembara, minta-minta dan pemohon; pelaku perbuatan-perbuatan baik. Ia terpelajar untuk berbagai macam pengetahuan.

Ia mengetahui apa yang telah dikatakan dan dapat menerangkan: ‘Kata-kata itu mempunyai arti anu dan itu dst.. ‘Ia pintar, ahli, bijaksana dan dapat memikirkan hal sekarang, yang lampau atau yang akan datang. Inilah delapan hal yang dimilikinya, yang juga menjadi bahan persiapan untuk upacara korban.

14.   Brahmana penasehat spiritualnya memiliki empat hal, yaitu: Ia dilahirkan dari ayah dan ibu yang memiliki garis keturunan yang baik dari tujuh generasi, tanpa cacat maupun kritikan untuk kelahirannya. Ia siswa yang telah menghafal mantra-mantra, menguasai tiga veda dengan semua indeks, ritual, phonologi, tafsiran, legenda, terpelajar dalam idiom dan gramatika, menguasai pengetahuan alam (lokayata) dan tiga puluh dua tanda tubuh orang besar (maha purisa). Ia saleh, bermoral dan memiliki sila yang berkembang dengan baik.
Ia pintar, ahli dan bijaksana, merupakan orang yang terutama atau kedua dari orang yang berkuasa.
Inilah empat hal yang dimilikinya, yang juga menjadi bahan persiapan untuk upacara korban.

15.   Namun sebelum upacara dimulai, penasehat menerangkan tiga hal kepada raja:
‘Bilamana, sebelum upacara mulai, raja menyesal: ‘Betapa besar kekayaan yang aku akan habiskan dalam upacara ini’, janganlah raja berpikiran seperti ini. Bilamana sementara melaksanakan upacara, raja menyesal: ‘Betapa besar kekayaan yang aku akan habiskan dalam upacara ini’, maka janganlah raja berpikiran seperti itu. Bilamana upacara korban telah selesai, raja menyesal: ‘Betapa besar kekayaan yang telah saya habiskan’, janganlah raja berpikiran seperti itu.’
Demikianlah penasehat menerangkan tiga hal kepada raja.

16.   “Brahmana, selanjutnya sebelum upacara mulai dan untuk mencegah penyesalan yang muncul pada orang-orang yang ikut melaksanakan upacara, penasehat berkata: “Saudara-saudara mungkin dalam pelaksanaan upacara korban ada orang-orang yang membunuh makhluk hidup dan ada yang menghindari pembunuhan; orang yang mengambil yang tidak diberikan dan orang yang menghindarinya; orang yang memuaskan nafsu dengan cara yang salah dan orang yang menghindarinya; orang yang berdusta dan orang yang tak berdusta, orang yang bicara kasar dan orang yang tak bicara kasar, orang yang memfitnah dan orang yang tak memfitnah, orang yang bergunjing dan orang yang tak bergunjing; orang yang serakah dan orang yang tak serakah; orang yang membenci dan orang yang tak membenci; dan orang yang berpandangan salah serta orang yang berpandangan benar. Mengenai orang-orang ini, mereka yang berbuat jahat, biarkanlah dengan kejahatan mereka itu. Sedangkan bagi mereka yang berbuat baik, semoga raja dan saudara sekalian mempersilahkan mereka melaksanakan upacara dan seyogyanya raja memberikan hadiah kepada mereka sesuai dengan kesediaan raja.”

17.   “Brahmana, sementara raja melaksanakan upacara, penasehat mengarahkan dan menyenangkan serta menggembirakan hatinya dengan enam belas hal: Bilamana ada orang yang membicarakan tentang raja, selagi raja melakukan upacara: ‘Raja Mahavijita melaksanakan upacara korban tanpa mengundang empat kelas masyarakat dari rakyatnya, ia sendiri tak memiliki delapan hal, juga tanpa bantuan dari penasehat yang memiliki empat hal; maka mereka tidak berbicara berdasarkan fakta. Karena raja telah mendapat persetujuan dari empat kelas masyarakat, raja memiliki delapan hal dan penasehatnya memiliki empat hal. Sehubungan dengan setiap faktor dari enam belas hal, semoga raja yakin bahwa semua hal itu telah terpenuhi. Ia dapat melaksanakan upacara, gembira dan damai.’”

18.   “Brahmana, dalam pelaksanaan upacara tidak ada sapi, kambing, unggas, babi yang dibunuh atau tidak ada makhluk hidup mana pun yang dibunuh. Tidak ada pohon yang ditebang untuk dijadikan tiang, tidak ada rumput ‘Dabba’ yang disabit dan diletakkan di sekeliling tiang. Para pekerja dan pembantu atau pekerja yang bekerja, tidak ada yang diancam dengan cambuk atau tongkat, sehingga tidak ada tangisan maupun air mata bercucuran di wajah mereka. Siapa yang ingin membantu, ia bekerja; ia yang tidak mau membantu, tidak bekerja. Setiap orang melakukan sesuai apa yang ia inginkan; melakukan atau tidak melakukan. Upacara dilaksanakan dengan hanya menggunakan ghee, minyak, mentega, susu, madu dan gula.

19.   “Brahmana, selanjutnya para kesatria, menteri, brahmana, petugas dan perumah-tangga, apakah dari kota atau desa, dengan membawa banyak harta, pergi menemui Raja Mahavijita, dan berkata: “Raja, harta yang banyak ini, kami bawa kemari untuk raja. Semoga raja menerimanya langsung dari kami!” “Saudara-saudara, saya telah memiliki cukup banyak harta yang didapat berdasarkan penarikan pajak yang adil. Bawa kembali milikmu itu dan ambil lagi secukupnya.!” Setelah raja menolak menerima, mereka bersama-sama ke samping dan berembuk: “Tidak pantas bagi kita untuk membawa kembali harta ini ke rumah kita masing-masing. Raja Mahavijita telah mengorbankan banyak untuk upacara. Sebaiknya kita melakukan upacara pula.”

20.   Maka para kesatria membangun sambungan bagian upacara di sebelah timur lobang upacara; para pegawai membangun di selatan, para brahmana membangun di barat di utara. Barang-barang dan bentuk dana mereka adalah mirip dengan yang dilakukan oleh raja sendiri. Demikianlah, ada empat kelas masyarakat, Raja Mahavijita memiliki delapan hal dan brahmana penasehatnya memiliki empat hal. Ada tiga metoda melaksanakan upacara korban. Ini yang disebut pelaksanaan upacara dalam tiga metoda dan enam belas kondisi.

21.   Setelah Sang Bhagava menerangkan, para brahmana membuat suara riuh dan berkata: “Betapa agung upacara itu, sungguh suci pelaksanaannya!” Tetapi Brahmana Kutadanta hanya duduk diam saja. Lalu para brahmana itu berkata kepada Kutadanta: “Mengapa anda tidak menyetujui uraian yang baik dari Samana Gotama?”

“Saya bukan tidak menyetujui, karena barang siapa tidak menyetujui apa yang telah diterangkan dengan baik oleh Samana Gotama, maka kepalanya akan pecah tujuh. Saya sedang memikirkan bahwa Samana Gotama tidak berkata: “Demikian yang Saya dengar”, atau “Demikian itu terlihat”, tetapi hanya berkata “Begitulah hal itu,” atau “Itu demikian”. Jadi, saya berpendapat: “Sesungguhnya Samana Gotama sendiri pada waktu itu adalah Raja Mahavijita atau Brahmana Penasehat Spiritual raja. Apakah Samana Gotama mengakui bahwa ia yang melaksanakan upacara korban atau menyebabkan upacara itu dilaksanakan, yang setelah meninggal dunia ia terlahir di alam bahagia di surga?”

“Brahmana, ya saya mengakuinya. Pada waktu itu saya adalah brahmana penasehat pada upacara korban.” “Gotama, apakah ada upacara korban yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat yang lebih baik daripada upacara itu?”
“Ya ada, brahmana.” “Gotama, apakah itu?”“Dana yang diberikan secara tetap kepada para pertapa yang memiliki sila yang baik.”

22.   “Gotama, tetapi apakah alasan dan sebab maka dana yang diberikan secara tetap kepada para pertapa yang memiliki sila yang baik adalah tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat yang lebih baik daripada upacara yang memiliki tiga metoda dan enam belas kondisi.” Brahmana, karena para arahat tidak akan pergi atau tidak ada jalan kearahatan pada upacara korban. Mengapa tidak ada? Sebab pada upacara korban terjadi pemukulan dan penangkapan di leher. Namun para arahat akan mendatangi tempat pemberian dana secara tetap, karena di situ tidak ada pemukulan atau penangkapan. Dengan demikian, maka pemberian dana secara tetap lebih tinggi daripada upacara korban.”

23.   “Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada kedua cara ini?”
“Ya ada, brahmana.” “Gotama, apakah itu?” “Mendirikan vihara atas nama Sangha pada empat arah.”

24. “Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada tiga cara ini?” “Ya ada, brahmana.”
“Gotama, apakah itu?” “Orang yang memiliki keyakinan dan berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha; inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada tiga cara itu.”

25.   “Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada empat cara ini?”
“Ya ada, brahmana.” “Gotama, apakah itu?” “Jika seseorang dengan keyakinan melaksanakan sila, yaitu menghindari diri dari: pembunuhan makhluk hidup, mengambil barang yang tidak diberikan, pemuasan nafsu dengan cara yang salah, dusta, minum minuman yang dapat menyebabkan ketidakwaspadaan; 
 inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada empat cara itu.”

26.   “Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada lima cara ini?”
“Ya ada, brahmana.” “Gotama, apakah itu?” “Brahmana, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, yang maha suci, telah mencapai Penerangan Agung, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, sempurna menempuh Jalan, pengenal segenap alam, pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, guru para dewa dan manusia, yang Sadar, patut dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan para dewa brahmana; para pertapa, brahma, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir, dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup selibat (brahmacariya) yang sempurna dan suci.” “Kemudian, seorang yang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga-rendah datang mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengarnya ia memperoleh keyakinan, ia ingin menjadi bhikkhu. Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha (peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian-murni dan pengertian-jelas (sati-sampajanna); dan hidup puas.” “Bagaimanakah, seorang bhikkhu yang sempurna silanya? Dalam hal ini, seorang bhikkhu menjauhi pembunuhan, menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk; menjauhi pencurian, menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan; ia hidup selibat dan menjauhi kedustaan. Ia menjauhi ucapan menfitnah, menahan diri dari menfitnah; apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakan di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan di sini. Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan di sana. Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah, pemersatu, mencintai persatuan, mendambakan persatuan, persatuan merupakan tujuan pembicaraannya. Ia menjauhi ucapan kasar, menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar, ia menjauhi pembicaraan yang menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat, ia berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, berguna, tentang Dhamma dan Vinaya. Ia melaksanakan Cula Sila, Majjhima Sila dan Maha Sila (seperti yang tersebut dalam Brahmajala Sutta).
‘Selanjutnya, seorang Bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian terhadap sila. Sama seperti seorang ksatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuhnya telah dikalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukham). Demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki sila-sempurna’. Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya? Bilamana seorang bhikkhu melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya. Ia menjaga indera penglihatannya.
Bilamana ia melihat suatu obyek dengan matanya, ia mendengar suara dengan telinganya, mencium bau dengan hidungnya, ia mengecap rasa dengan lidahnya, ia merasakan sentuhan dengan tubuhnya, atau ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera-inderanya. Ia menjaga indera-inderanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera-inderanya.
Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki perhatian murni dan pengertian jelas? Dalam hal ini seorang bhikkhu mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti dengan jelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun berbicara atau diam. Bagaimanakah seorang bhikkhu merasa puas? Dalam hal ini seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Kemana pun ia pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini.

Setelah memiliki kelompok-sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini, memiliki perhatian murni dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan’. Dengan menyingkirkan keinginan nafsu keduniawian, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari keinginan nafsu, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad-jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad-jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad-jahat. Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada penyerapan terhadap cahaya (akkasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia berdiam bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan menyingkirkan keragu-raguan, ia berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan. Demikianlah, selama lima rintangan (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang. Tetapi setelah lima rintangan itu  disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang. Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan itu telah disingkirkan dari dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana I; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan vitaka (pengarahan pikiran pada obyek) dan vicara (obyek telah tertangkap oleh pikiran). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebasan (viveka). Selanjutnya seorang bhikkhu yang telah membebaskan diri dari vitaka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana II; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitaka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi, dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari konsentrasi. Selanjutnya seorang bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan seimbang yang disertai dengan perhatian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian-murni; ia memasuki dan berdiam dalam Jhana III. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu’. Selanjutnya, dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam Jhana IV, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian-murni (satiparisuddhi) bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikianlah ia duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih’. Brahmana, inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada cara-cara lain. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan-terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Demikianlah ia mengerti: “Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas empat unsur-pokok (mahabhuta) berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus menerus; bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran, dan kematian; begitu pula halnya dengan kesadaran (vinnana) yang terikat dengannya’. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat diguncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘tubuh-ciptaan-batin’ (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh-ciptaan-batin’ melalui pikirannya, yang memiliki bentuk memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun’. Demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan ‘wujud-ciptaan-batin’ (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan ‘tubuh-ciptaan-batin’ melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apa pun’. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan; ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan-perbuatan gaib). Ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya; dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam ia timbul melalui tanah, seolah-olah berjalan di atas tanah, dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara. Seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa, ia dapat pergi mengunjungi alam-alam dewa brahma dengan membawa tubuh kasarnya.’Dengan pikirannya yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan dibbasota (telinga-dewa). Dengan kemampuan dibba-sota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat’.
Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain, pikiran orang lain. Ia mengetahui: Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu, pikiran tanpa-nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu. Pikiran yang disertai kebencian …. pikiran tanpa kebencian …., pikiran disertai ketidaktahuan …., pikiran tanpa ketidaktahuan , pikiran yang teguh, ragu-ragu, berkembang, tidak berkembang, rendah, luhur dan bebas. Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti: satu … sepuluh … seratus … seribu … seratus ribu kelahiran, kelahiran-kelahiran pada banyak masa-menjadinya-bumi (samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran bumi (vivatta-kappa), melalui banyak masa-menjadi-kehancuran bumi (samvatta-vivatta-kappa). Ia ingat, di suatu tempat demikian, namaku, makananku, keluargaku, suku-bangsaku, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat, disana namaku, makananku keluargaku, suku-bangsaku, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini’. Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya, dalam seluruh macamnya’. Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana), Dengan kemampuan dibba-cakkhu (mata-dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kehidupan, muncul dalam kehidupan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia, dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: ‘Makhluk-makhluk ini memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan menurut pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara, alam neraka. Tetapi, makhluk-makhluk yang lain memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan benar, dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga’. Demikianlah, dengan kemampuan dibba cakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kehidupan, muncul dalam kehidupan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita’.

Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin  (asava). Demikianlah, ia mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah dukkha’, ‘Inilah sebab dukkha’, ‘Inilah akhir dari dukkha’ dan ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya dukkha’. Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah akhir asava’ dan ‘Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya asava’. Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui: ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini’.‘Brahmana, inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada cara-cara lain.”

27.   Setelah Sang Bhagava berkata, Brahmana Kutadanta berkata kepada Sang Bhagava: “Gotama, sangat bagus kata-kata yang diungkapkan! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada ia  yang tersesat atau memberikan cahaya dalam kegelapan agar mereka yapng mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya. Demikian pula dengan berbagai cara Dhamma telah dibabarkan oleh Samana Gotama kepadaku. Saya menyatakan bahwa saya berlindung kepada Samana Gotama, Dhamma dan Sangha. Semoga Samana Gotama menerima saya sebagai upasaka, mulai hari ini sampai selama-lamanya. Samana Gotama, saya sendiri akan melepasbebaskan tujuh ratus pasang sapi dan tujuh ratus pasang kambing. Saya menyelamatkan hidup mereka. Mereka dapat makan rumput hijau, minum air sejuk dan angin sejuk meliputi mereka.”

28.   Kemudian secara berurutan Sang Bhagava membabarkan kepada Kutadanta tentang: dana, perbuatan baik, surga, bahaya dari pemuasan nafsu dan manfaat hidup meninggalkan kehidupan duniawi. Ketika Sang Bhagava mengetahui bahwa Brahmana Kutadanta telah siap, lembut, tidak curiga, waspada dan berkeyakinan, maka dibabarkannya Dhamma yang ditemukannya yaitu tentang dukkha (penderitaan), asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan Jalan untuk melenyapkan dukkha.
Bagaikan kain bersih, yang nodanya tercuci bersih, siap untuk dicelup; demikian pula Brahmana Kutadanta yang sedang duduk di situ mencapai Mata Kebenaran yang bersih tanpa noda dan ia mengetahui bahwa ‘Segala sesuatu yang mempunyai sebab, pasti akan lenyap’.

29. Selanjutnya Brahmana Kutadanta sebagai seorang yang telah melihat ‘Kebenaran, menguasainya, mengerti, menyelam ke dalamnya, yang telah melampaui keragu-raguan dan melenyapkan kegelisahan dan memiliki keyakinan kuat, yang tidak tergantung lagi pada orang lain karena pengetahuannya pada ajaran Sang Guru, berkata kepada Sang Bhagava: “Semoga Samana Gotama bersama bhikkhu sangha memberikan kesempatan kepada saya dengan menerima makanan pada besok hari.” Sang Bhagava menerima undangan itu dengan bersikap diam. Brahmana Kutadanta setelah melihat Sang Bhagava telah menerimanya, bangkit dari duduk dan meninggalkan Sang Bhagava dengan berjalan di sisi kanan beliau. Setelah menjelang pagi ia menyediakan makanan manis, keras dan lembut pada lobang upacara, selanjutnya ia memberitahukan kepada Sang Bhagava: ‘Telah tiba waktunya, makanan telah siap’. Sang Bhagava setelah mengenakan jubah, mengambil jubah luar (civara) dan patta, bersama dengan para bhikkhu pergi ke lobang upacara Brahmana Kutadanta, Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Brahmana Kutadanta dengan tangannya sendiri melayani bhikkhu sangha yang dikepalai oleh Sang Bhagava, dengan makanan manis, keras dan lembut, hingga mereka menolak untuk menerimanya lagi. Setelah Sang Bhagava selesai makan, membersihkan patta dengan tangan-Nya, Brahmana Kutadanta duduk di tempat duduk yang rendah di samping Beliau. Setelah ia duduk, Sang Bhagava membabarkan membangkitkan, mendorong dan menggembirakan Brahmana Kutadanta dengan uraian dhamma; sesudah itu Beliau bangkit dari duduk dan pergi.

Readmore..
 
© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com